Alkisah di wilayah Kadumbul hiduplah seorang gadis yang sangat cantik jelita, bernama Rambu Kahi, kecantikannya ini terkenal hingga di seluruh pelosok tanah Humba, sehingga begitu banyak pemuda maupun raja yang berniat mempersunting Rambu Kahi sebagai istrinya. Namun Rambu Kahi bukanlah wanita yang jelita parasnya, namun hatinya juga serupa wajahnya. Walau didesak oleh kedua orang tuanya untuk memilih salah satu di antara para raja ataupun pemuda yang kaya raya, Rambu Kahi tetap tak bergeming.
namun sebagai seorang gadis yang beranjak dewasa Rambu kahi tetaplah seorang manusia yang bisa jatuh hati, dan diam diam Rambu kahi telah melabuhkan hatinya pada seorang pemuda biasa yang sekampung dengannya, di awali pertemuan di pinggiran kampung ketika lagi mencari kayu bakar, pada saat itu Rambu Kahi sangat kewalahan "menjunjung" kayu kayu kering yang telah di kumpulkannya, tanpa disadarinya seorang pria datang menghampirinya
"maaf eri, boleh saya bantu" tanya pemuda itu
"biar sudah umbu, nanti hewannya umbu tidak ada yang gembala" jawab rambu dengan nafas tersengal-sengal
"tidak apa apa eri"
dengan malu malu akhirnya Rambu Kahi menerima tawaran dari pemuda tadi, dengan langkah tegap pemuda itu memanggul kayu kayu kering tadi sambil menuju rumah Rambu kahi, sempat pula mereka saling berkenalan.
semenjak kejadian itu Rambu Kahi dan Umbu Ndilu semakin sering jumpa, terkadang Rambu Kahi menemani Umbu Ndilu yang sedang gembala, atau Umbu Ndilu menemani Rambu kahi mencari kayu bakar, makin hari pemuda dan pemudi itu semakin dekat dan mesra, kemesraan ini tercium oleh kedua orang tua Rambu Kahi, dan sempat mengingatkan Rambu Kahi bahwa bahwa Umbu Ndilu hanya berasal dari kabihu biasa biasa saja, berbeda dengan para pemuda yang berasal dari kau bangsawan maupun Maramba. namun Rambu kahi sudah terlanjur jatuh hati pada Umbu Ndilu, seorang pemuda yang selalu menemaninya sambil mendendangkan pahangu di iringi petikan ndjungga yang merdu, kalau sudah cinta yang bertindak maka logika menjadi semu, hingga suatu hari Rambu Kahi mengajak Umbu Ndilu untuk melarikan diri dari kampung
"umbu sebaiknya, kita tinggalkan saja kampung ini, saya bosan dengan keadaan ini, mama dengan bapa tiap hari hanya marah marah"
"wajar saja eri, mereka yang ingin melamarmu berasal dari keluarga kaya dan terpandang, kita bersabar saja"
"apa maksudnya umbu dengan bersabar, umbu tidak rasa yang saya rasakan atau sudah ada perempuan lagi yang ada di hatinya umbu"
"bukan bermaksud seperti itu eri, saya tidak ingin hubungan eri dengan bapa mama di rumah akhirnya rusak, hanya karena saya"
"baiklah kalau begitu, biar saja saya sendiri yang pergi meninggalkan kampung ini, saya sudah tidak tahan lagi"
"maksudnya eri?"
"kau sama saja dengan mereka! tidak mengerti perasaan seorang perempuan!"
"baiklah kalau begitu, kita berdua pergi meninggalkan kampung ini, kita ke Waijelu saja, kebetulan saya punya tuya yang tinggal disana"
"tepat tengah malam kita berangkat, saya tunggu eri di pinggiran kampung tempat biasa kita bertemu" lanjut Umbu Ndilu
"trimakasih Umbu" jawab Rambu kahi
"ini ada dua mamoli, salah satunya eri tinggalkan di atas tempat tidur, dan satunya eri bawa untuk jaga jaga di perjalanan" Umbupun mengeluarkan sepasang mamoli dari sarungnya dan sebuah anahida, lalu umbu menyerahkan sepasang mamoli itu dan mengenakan anahida pada leher Rambu kahi bentuk cintanya pada rambu kahi.
tepat tengah malam di pinggiran kampung, Umbu Ndilu dan seekor kuda pacu telah menanti kedatangan Rambu Kahi, namun wanita yang di nantinya tak jua datang, hingga subuh terdengarlah teriakan rambu Kahi
"Umbu lari.. Umbu lari!"
Umbu kahi seraya berdiri mencari arah suara itu
"umbu lari.. Umbu lari"
dari kejauhan terlihat Rambu kahi sedang berlari ke arahnya, namun isyarat dua tangan Rambu Kahi memberi pesan agar ia menjauh
"Umbu lari...mereka akan menangkapmu" teriak Rambu kahi, namun Umbu Ndilu tetap tak peduli, ia tetap pergi menyosong rambu kahi, namun ketika mendekati rambu kahi, segerombolan pemuda kampung telah menghunus parangnya menghalanginya, Umbu Ndilu pun tak mau kalah mencabut prang yang tersisip di balik sarungnya, salah satu diantara pemuda itu langsung mengarahkan parangnya tepat ke tubuh Umbu Ndilu Namun dengan Sigap dihindarinya, sambil membalas mengayunkan parang ke pemuda tadi, sekali tebas, pemuda kampung itu langsung terjatuh bersimbah darah, melihat temannya yang terkulai tak berdaya pemuda yang lain gentar pula nyalinya.
"ayo siapa lagi berani maju!" tantang Umbu Ndilu
"Umbu lari...!" kembali teriakan Rambu kahi meraung meraung dalam dekapan kedua orang tuanya, dan tanpa di sadari Umbu Ndilu salah seorang muncul dari belakangnya, memukul Umbu Ndilu dengan sebilah kayu besar, dan sekejap Umbu ndilu tersungkur dan beberapa pemuda lainnya dengan sigap meringkusnya
beberapa hari setelah kejadian itu para pemuda kaya dan beberapa orang raja yang memang ingin memiliki Rambu Kahi datang ke kampung itu, untuk menghadiri pengadilan kampung tentang kejadian yang dianggap keterlaluan, seorang sesepuh di kampung itu di tunjuk untuk mengadili Umbu Ndilu dan Rambu Kahi, setelah melalui proses yang panjang dan berdiskusi dengan orang tua Rambu Kahi akhirnya sesepuh kampung itu memutuskan
"dengan ini saya selaku hakim di pengadilan adat ini memutuskan untuk memberi sangsi kepada Umbu Ndilu untuk di buang ke hutan larangan di wilayah hahar tepatnya di gunung meja"
adapun hutan larangan itu adalah hutan yang sangat angker karena desas desusnya siapapun yang memasuki hutan larangan tak bisa keluar dengan hidup hidup
"dan untuk Rambu kahi dalam tiga hari harus memutuskan dengan siapa, pria yang akan di nikahinya"
keputusan ini jelas membuat rambu kahi tercengang lantas meronta ronta berusaha melepaskan dari ikatan yang membelenggu kedua tangganya
"saya hanya akan menikah dengan Umbu ndilu" teriak rambu
namun berbeda dengan Umbu Ndilu, dia cuma tertunduk lesu tak bisa berkata apa-apa, baginya ini adalah takdir dari Tuhan yang harus di jalaninya dengan ikhlas
"tidak! kau Rambu Kahi harus menikah dengan salah satu di antara mereka" jawan sesepuh kampung itu sambil menunjuk para pria yang sedang tersenyum
"saya tidak mau, harus dengan Umbu Ndilu" balas Rambu Kahi sambil memelotokan matanya ke arah sesepuh itu
"kau perempuan Rambu kahi! apapun keputusannya kau harus melakukannya"
"tidak!" jawab Rambu kahi dengan keras
"demi tanah yang ku pijak, demi angin yang membasuh tubuhku, demi langit yang menjadi atapku, dan demi petir sang penopang leluluhur, apabila saya Rambu kahi tidak menikah dengan Umbu Ndilu, maka saya bersumpah, akan mati bersama petir yang menyambar" kutuk rambu pada dirinya dengan suara beringas sambil memukulkan kepalanya ke tanah, seperti orang kesurupan
"duar..duar..duarrrrrrrr!" tiba tiba langit berdentam sangat keras
seluruh penghuni kampung di buat gentar dengan suara gemuruh yang sangat keras tapi tidak dengan sesepuh kampung
"tidak, kau harus mengikuti keputusan pengadilan ini" jawabnya lantang
Rambu Kahipun jatuh tersungkur sambil menggulingkan tubuhnya, beberapa pemuda kampung segera mendekati rambu kahi ingin memapahnya, namun Umbu ndilu menghalangi
"tak ada seorangpun yang boleh menyentuhnya"
namun apalah daya Umbu Ndilu dia hanya seorang dan tanganya sedang terikat, dengan satu dua jurus ia berhasil dikalahkan, pemuda pemuda itu langsung memapahnya keluar dari pengadilan itu, dan rambu kahi hanya melihat Umbu dengan tatapan yang penuh kesedihan mendalam, air matanya telah menyeruak membasahi wajahnya yang telah belepotan dengan tanah.
akhirnya hari itu juga ketika hari hampir malam, Umbu Ndilu di bawa ke hutan larangan dan di buang kedalamnya, tanpa penerangan apapun Umbu Ndilu pun menyusuri hutan larang tersebut
berbeda dengan rambu Kahi, tiga hari setelah pengadilan adat, ia di arak tepat di tengah kampung disaksikan oleh sesepuh kampung, kedua orang tuanya tak ketinggalan para pria yang ingin melamarnya, dengan wajah buas para pria seperti ingin menyantap rambu kahi dengan tatapan liarnya.
setelah
menunggu tak berapa lama sang pengadil datang dengan pakaian lengkap ia
bertitah
"dengan segenap kekuasaan yang telah di berikan, maka
saya selaku sesepuh dan hakim dalam pengadilan adat, mengharuskan Rambu
Kahi untuk memilih suaminya pada hari ini, salah satu dari pria pria
yang datang ingin melamarnya"
para pria yang hampir tiga puluan orang jumlahnya itu langsung menyungingkan senyuman maut mereka kepada gadis yang di taksirnya, namun berbeda dengan Rambu kahi, gadis remaja ini dalam beberapa hari saja sebagian keelokan parasnya sirna, tatapan matanya kosong, hanya terdengar sayup sayup Ia sesegukan sambil mengucap nama Umbu Ndilu sesekali, sedangkan nun jauh di hutan terlarang pria yang di panggili namanya itu sedang meratapi gadisnya yang akan menikah dengan pria lain
setelah menunggu lama belum juga Rambu Kahi mengambil keputusan, dan sesepuh kampung yang menjabat hakim semakin tidak sabar
"Rambu Kahi, segera kau pilih siapa diantara mereka yang akan kau jadikan Suami"
namun rambu kahi tidak bergeming, lalu sesepuh itu meemaksa lagi berulang ulang
"Rambu kahi kau harus memilih salah satu dari mereka, kalau tidak saya akan memerintahkan beberapa orang untuk membunuh Umbu Ndilu"
mendengar nama pemuda yang dicintainya maka api kemarahan dalam tubuh Rambu kahi membara, dengan setengah berteriak ia menjawab sang hakim
"baiklah, kalian yang memaksa!"
dengan perlahan Rambu Kahi bersujud sambil wajahnya di tegadah ke atas, sambil berkomat kamit ia memanjatkan doa pada sesembahannya
"untukmu wahai yang maha besar, yang telinganya lebar dan hati seluas padang, dengarlah doa Rambu kahi ciptaanMu, biarlah aku lebur dari bumi ini, karena aku belajar dariMu tentang bagaimana mencintai dengan penuh kesucian dan ketulusan, semua cinta yang saya miliki hanya untuk Umbu Ndilu seorang, semua ketulusan hanya untuk Umbu Ndilu seorang, maka dengan ini saya Rambu Kahi memintaMu wahai penguasa jagat raya, pelindung para leluhur, saya meminta dengan kesucian hati untuk lebur dari bumi ini"
setelah mengucapkan doa yang di rapal Rambu Kahipun membenturkan kepalanya tiga kali ke tanah, dan serentak angin berhembus kencang, gemuruh besar dari langit bersahut sahutan, semua penduduk kampung mulai ketakutan, kedua orang tuanya mencoba mendekatinya, namun seperti ada kekuatan lain yang menahan mereka
tiba tiba Rambu kahi beteriak nyaring
"untukMu sang Penguasa alam semesta dan penguasa jagat raya, saya Rambu kahi ingin lebur dari bumi ini.... Arrrggghhhhh"
suasana semakin penuh ketakutan dan mistis, tiba tiba suara seperti petikan djungga mengiring teriakan Rambu Kahi, dan dengan sekejap Petir yang Maha besar menyambar Rambu Kahi, dan tubuh Rambu Kahipun hancur berkeping keping, potongan tubuhnya pecah kemana mana, namun penduduk kampung yang sedang ketakutan dengan kejadian misterius itu seperti kesetanan, karena dari potongan tubuh Rambu kahi yang tercerai berai, mengeluarkan aroma wangi, sentak penduduk kampung dan pria pria yang ingin melamarnya saling berebutan potongan tubuh Rambu kahi, lalu pergi menjauh meninggalkan kedua orang tua Rambu kahi yang menangisi kepergian Rambu Kahi.
ternyata kejadian mistis tak berhenti sampai disitu, ketika hari menjelang malam potongan tubuh Rambu Kahi berubah menjadi dedaunan kering yang berwarna coklat dan berorama wangi yang akhirnya kita sekarang menyebutnya tembakau
lain halnya dengan Umbu Ndilu kabar tentang Rambu kahi tak sekalipun pernah didengar, kesedihan ini akhirnya mergumpal gumpal dalam hatinya tentang kisah cintanya yang tak sampai perlahan lahan ia mulai menangisi Rambu Kahi tanpa henti, hari berganti hari, bulan berganti pulan tangisanya tak juga berhenti, akhirnya tangisannya menjadi aliran sungai yang besar dan Umbu Ndilu pun membatu karena kediamannya selama bertahun tahun, namun tidak tangisannya, terus terus dan terus berlangsung, namun aliran sungai besar itu tak pernah sampai ke lautan, namun masuk ke sebuah lubang besar ke dalam bumi, yang pada jaman sekarang sering kita namai air terjun Gunung meja.
keterangan
Kadumbul : salah satu wilayah di Sumba Timur
menjunjung : memikul diatas kepala
eri : adik
kabihu : marga / klan
maramba : raja / kaum bangsawan
pahangu : lagu cinta
ndjungga : alat musik khas sumba, sejenis gitar namun hanya memiliki 2 senar pada umumnya
mamoli : salah satu perhiasan adat sumba, ada yang terbuat dari emas atau perak
anahida : perhiasan sumba, umumnya sejenis kalung berupa manik manik
sumber gambar : air terjun gunung meja (fb alethia siahenenia)
catatan penulis : awalnya cerita ini didengar tentang asal mula tembakau, namun sangat singkat, dari kepala desa Palakahembi Meta Yiwa, dan cerita ini sebagian besar di kembangkan oleh penulis sendiri dimana ada beberapa kejadiannya di rubah dan ada beberapa peristiwa di tambahkan,mengenai tempat, nama adalah pilihan penulis sendiri, semoga kita semakin mencintai kesumbaan kita.
Waingapu, 20 september 2014
Umbu Nababan
para pria yang hampir tiga puluan orang jumlahnya itu langsung menyungingkan senyuman maut mereka kepada gadis yang di taksirnya, namun berbeda dengan Rambu kahi, gadis remaja ini dalam beberapa hari saja sebagian keelokan parasnya sirna, tatapan matanya kosong, hanya terdengar sayup sayup Ia sesegukan sambil mengucap nama Umbu Ndilu sesekali, sedangkan nun jauh di hutan terlarang pria yang di panggili namanya itu sedang meratapi gadisnya yang akan menikah dengan pria lain
setelah menunggu lama belum juga Rambu Kahi mengambil keputusan, dan sesepuh kampung yang menjabat hakim semakin tidak sabar
"Rambu Kahi, segera kau pilih siapa diantara mereka yang akan kau jadikan Suami"
namun rambu kahi tidak bergeming, lalu sesepuh itu meemaksa lagi berulang ulang
"Rambu kahi kau harus memilih salah satu dari mereka, kalau tidak saya akan memerintahkan beberapa orang untuk membunuh Umbu Ndilu"
mendengar nama pemuda yang dicintainya maka api kemarahan dalam tubuh Rambu kahi membara, dengan setengah berteriak ia menjawab sang hakim
"baiklah, kalian yang memaksa!"
dengan perlahan Rambu Kahi bersujud sambil wajahnya di tegadah ke atas, sambil berkomat kamit ia memanjatkan doa pada sesembahannya
"untukmu wahai yang maha besar, yang telinganya lebar dan hati seluas padang, dengarlah doa Rambu kahi ciptaanMu, biarlah aku lebur dari bumi ini, karena aku belajar dariMu tentang bagaimana mencintai dengan penuh kesucian dan ketulusan, semua cinta yang saya miliki hanya untuk Umbu Ndilu seorang, semua ketulusan hanya untuk Umbu Ndilu seorang, maka dengan ini saya Rambu Kahi memintaMu wahai penguasa jagat raya, pelindung para leluhur, saya meminta dengan kesucian hati untuk lebur dari bumi ini"
setelah mengucapkan doa yang di rapal Rambu Kahipun membenturkan kepalanya tiga kali ke tanah, dan serentak angin berhembus kencang, gemuruh besar dari langit bersahut sahutan, semua penduduk kampung mulai ketakutan, kedua orang tuanya mencoba mendekatinya, namun seperti ada kekuatan lain yang menahan mereka
tiba tiba Rambu kahi beteriak nyaring
"untukMu sang Penguasa alam semesta dan penguasa jagat raya, saya Rambu kahi ingin lebur dari bumi ini.... Arrrggghhhhh"
suasana semakin penuh ketakutan dan mistis, tiba tiba suara seperti petikan djungga mengiring teriakan Rambu Kahi, dan dengan sekejap Petir yang Maha besar menyambar Rambu Kahi, dan tubuh Rambu Kahipun hancur berkeping keping, potongan tubuhnya pecah kemana mana, namun penduduk kampung yang sedang ketakutan dengan kejadian misterius itu seperti kesetanan, karena dari potongan tubuh Rambu kahi yang tercerai berai, mengeluarkan aroma wangi, sentak penduduk kampung dan pria pria yang ingin melamarnya saling berebutan potongan tubuh Rambu kahi, lalu pergi menjauh meninggalkan kedua orang tua Rambu kahi yang menangisi kepergian Rambu Kahi.
ternyata kejadian mistis tak berhenti sampai disitu, ketika hari menjelang malam potongan tubuh Rambu Kahi berubah menjadi dedaunan kering yang berwarna coklat dan berorama wangi yang akhirnya kita sekarang menyebutnya tembakau
lain halnya dengan Umbu Ndilu kabar tentang Rambu kahi tak sekalipun pernah didengar, kesedihan ini akhirnya mergumpal gumpal dalam hatinya tentang kisah cintanya yang tak sampai perlahan lahan ia mulai menangisi Rambu Kahi tanpa henti, hari berganti hari, bulan berganti pulan tangisanya tak juga berhenti, akhirnya tangisannya menjadi aliran sungai yang besar dan Umbu Ndilu pun membatu karena kediamannya selama bertahun tahun, namun tidak tangisannya, terus terus dan terus berlangsung, namun aliran sungai besar itu tak pernah sampai ke lautan, namun masuk ke sebuah lubang besar ke dalam bumi, yang pada jaman sekarang sering kita namai air terjun Gunung meja.
keterangan
Kadumbul : salah satu wilayah di Sumba Timur
menjunjung : memikul diatas kepala
eri : adik
kabihu : marga / klan
maramba : raja / kaum bangsawan
pahangu : lagu cinta
ndjungga : alat musik khas sumba, sejenis gitar namun hanya memiliki 2 senar pada umumnya
mamoli : salah satu perhiasan adat sumba, ada yang terbuat dari emas atau perak
anahida : perhiasan sumba, umumnya sejenis kalung berupa manik manik
sumber gambar : air terjun gunung meja (fb alethia siahenenia)
catatan penulis : awalnya cerita ini didengar tentang asal mula tembakau, namun sangat singkat, dari kepala desa Palakahembi Meta Yiwa, dan cerita ini sebagian besar di kembangkan oleh penulis sendiri dimana ada beberapa kejadiannya di rubah dan ada beberapa peristiwa di tambahkan,mengenai tempat, nama adalah pilihan penulis sendiri, semoga kita semakin mencintai kesumbaan kita.
Waingapu, 20 september 2014
Umbu Nababan
Selamat membaca cerita ini...semoga terhibur
BalasHapusselamat membaca cerita menarik dari Sumba Timur
BalasHapusCerita rakyat yang luar biasaaaa....singkat tapi memukau..
BalasHapusThank You atas cerita nya
BalasHapus