Bocah memar berwaktu #2


Hari beranjak senja langit bergambar cahaya membentuk lukisan mahawarna kemerahan api menyelimuti segerombolan merpati yang bercerita riang dalam belain angin tropis, terlihat jelas deretan rumah berbaris tak beraturan berbaring hamparan sawah menghijau berpetak petak, senja yang sempurna di hari itu, sepsang lintah merayapi pinggiran pematang mencari ribaan saat malam melewati reruputan merangas, sementara dari kejauhan tampak dua pasang telapak menabuh pematang bumi beriringan seorangnya memakai seagam lengkap berjalan di depan di ikuti iringan siulan seorang bocah tinggi tanggu tanpa atasan yang lagi bersiul merdu.
“ah… tak senang ku dengar siulan lagu itu” ardi memulai berganti tawa menjadi kata sambil melirik ahmad yang bersiul dan bergoyang mengikuti nada siulannya, seakan akan dia sadar benar hampaaran sawah pada senja  sangat menikmati konser kecil merdunya.
“ini lagu kesukaanku” balas ahmad sengit
“ ah itu bisa bisanya kamu saja” timpal ardi sambil mengirim muka cemberut karena kini ahmad bukan lagi bersiul tapi suda menyanyikan lirik lagu tersebut..
berapa puluh taun lalu
beta masi kacile
beta inga tempo itu
sio mama gendong gendong betae

sambil mama bakar sagu
mama manyanyi buju-buju
la sampa basar bagini
beta tra lupa mamae

sio mamae...beta rindu mo pulange
sio mamae...mama su lia kurus lawange
beta balom balas mama
mama pung capu so dulue

tiba tiba saja tetesan air menggenang di pelupuk mata ahmad, entah apa yang di rasakan sekarang ini suara merdunya semakin memekik suara ratap teramat sangat, memengirim nada syahdu lewat bayu seketika mengajak senja semakin layu..
“di… lagu ini kadang menetramkanku kala sendiri” ucap ahmad terbata bata menahan laju air mata yang semakin menggunung
“jujur saja di… sakit rasanya hati ini bila melihat ibuku di gampar berulang ulang kali” sambung ahmad yang sudah terdiam menatam langit berwarna merah gelap.
Ardi hanya bisa terpekur menatap sahabatnya yang lagi berdiam, ardi sadar benar apa yang dirasakan ahmad. Seorang bocah yang di besarkan dengan kemarahan sang ayah, terkadang beberapa lembar kabel listrik memeluk perih lutut dan punggung ahmad, terkadang pula bogem mentah mendarat telak di wajah atau bagian lain di tubuh sahabatnya itu.
“di.. kalau ibuku di gampar, rasa rasanya aku ingin mengganti dengan ibuku” ahmad bersuara lagi menghentikan isaknya yang tersisa.
“ibuku sudah tua di…” sambung ahmad
“ mad… sebaiknya kita pulang saja” balas ardi berusaha mengalihkan perasaan sedih sahabatnya itu, seraya berusaha teriakan dalam hatinya sendiri.
“ terus.. kita bakar saja lelenya di rumahmu ya..” sambung ardi berusaha tersenyum menetramkan galau hati sang sahabat
“ ayo dah… hari juga hampir maghrib” balas ahmad dan megayunkan kedua lengan kakinya menyusuri petak petak sawah yang dulunya milik kakeknya..
Senja pelan pelan padam dua lelaki muda baru saja memasuki jalan setapak desa pinggiran kota itu, di iringi nyanyian azan yang mengalun suci.. bintang pun mengirim isyarat cahaya hari sudah malam dua bocah itu memasuki pekarangan rumah yang berdinding anyaman bambu…

Bersambung…

Komentar