Catatan kecil refleksi seorang, aktivis?

Aktivis kah anda?
Menjadi salah satu pertanyaan utama dan harus di jawab oleh kawan kawan yang merasa sering mengkritik kebijakan dan kebiasaan para penguasa (secara global). Dan pertanyaan yang juga harus saya jawab, aktivis kah saya?

Bagi saya aktivis adalah pribadi yang selalu gelisah dengan dirinya serta alam diluar dirinya, dari kegelisahan kegelisahan ini akan menghadirkan tindakan tindakan untuk menuntaskan kegelisahan kegelisahan yang ada. Baik berupa sebuah tulisan ataukah tindakan berupa penolakan seperti demonstrasi ataupun aksi aksi social lainnya.
Saya tidak akan menulis perjalanan panjang bagaimana menjadi seorang menjadi aktivis yang baik atau bagaimana belajar menjadi seorang aktivis karna banyak orang yang memiliki persepsi sendiri apa dan siapakah aktivis itu, saya hanya mencoba mengulas “resiko social” yang di alami oleh seorang aktivis.

*
Biasanya seorang aktivis mulai berkembang dari masa masa awal di bangku kuliah dimana cara berpikirnya mulai berubah ke arah yang lebih positif dari sebelumnya, melakukan kritik kritik social dalam sebuah tindakan dan akhirnya “terjebak” dalam sebuah alam yang berbeda dengan manusia lainnya, sehingga bagi sebgaian besar aktivis caci maki dan cibiran adalah sebuah hal yang sangat wajar tinggal bagaimana merubahnya menjadi sebuah energy untuk maju terus. Berpedoman dengan idealismenya.
Idealisme sebuah kata menarik yang sering kita dengar di dalam dunia aktivis, merupakan salah satu hal yang tidak bisa di lepas dari seorang aktivis karena bagi seorang aktivis, idealisme adalah akar dan pedoman dikarenakan ada seseuatu hal yang di anggap ideal maka para aktivis akhirnya sering kritik inilah, kritik itulah walau terkadang tidak konstruktif karna tidak mampu memberikan sebuah solusi. Idealisme terkadang menjadi sebuah prinsip hidup bagi seorang aktivis, contohnya seorang aktivis lingkungan menjadi sebuah prinsip hidup harus menjaga lingkungan, dan ini tidak bisa dirubah, begitu menurut salah satu kawan yang saya kategorikan sebagai seorang aktivis lingkungan.
Apakah benar tidak mungkin berubah?
Kita patut mempertanyakan itu, apakah seorang aktivis mampu tetap memegang erat idealismenya serta menjadi seorang yang selalu gelisah ataukah akan berubah di karenakan sesuatu hal yang tidak bisa di hindari contohnya permintaan istri, tuntutan keluarga, psikologi umur serta godaan uang dalam jumlah yang besar, kita bisa melihat sebagian besar aktivis 66 ataupun aktivis 98 yang lalu lalang di media bisa kita jadikan referensi walaupun idealismenya tidak banyak berubah namun dalam upaya untuk posisinya tetap diatas mereka tidak bisa menghindar dari apa yang namanya lobi lobi maupun komisi komisi.
keinginan dasar seorang manusia adalah mendapatkan kehidupan yang layak dan bisa saja idealisme yang telah di bangun sekian lama akhirnya runtuh seketika di karenakan keinginan dasar tersebut. Dalam proses pencapaian kehidupan yang layak para aktivis seringkali menjadi pusat perhatian banyak orang entah mereka yang tertarik dengan gagasan gagasan dari aktivis atau mereka yang mereka mereka yang terancam posisinya oleh sang aktivis. Harus disadari benar disaat seseorang mengambil rel sebagai seorang aktivis, pribadi tersebut telah melakukan kontrak social dengan masyarakat bahwa dia seorang aktivis yang memperjuangkan harkat hidup orang banyak, dan bisa saja “kontrak social” itu menjadi batu sandungan, karna apabila pribadi yang menjadi seorang aktivis hidup tidak sesuai kontrak social yang telah di tandatanganinya maka cibiran yang paling sering di dengar ialah  “sok, Cuma ngomong doang”. Dan ini adalah sebuah bentuk hukuman social dari masyarakat yang sangat mempengaruhi pencitraan dan kredibelitas dari seorang aktivis. untuk menghindari hanya satu kata yaitu harus “total” sesuai dengan idealisme yang telah di bangunnya, namun bukan tidak mungkin ini bisa menjadi boomerang bagi diri sang aktivis, karna sampai detik ini masih banyak aktivis yang dibunuh, diculik atau ditekan secara psikologis, almarhum munir adalah contoh yang paling tepat dimana seorang aktivis HAM akhirnya dibunuh dan kita tidak pernah tau siapa yang berada dibalik tragedi ini.

Akhirnya saya berpikir bahwa kata kata seorang Marthen Mangi Koro ada benarnya “bergeraklah dalam diam” menjadi sebuah refleksi sangat mendalam bagi saya dan semoga buat kawan kawan lainnya, biarlah kita belajar bergeraklah dalam kediaman kita.

Demi Indonesia jaya
Dan sumba yang lebih baik

Komentar

  1. jaya terus..
    katanya dimana ada kemauan pasti ada jalan...
    tapi tanpa usaha jalan yang di ambil bisa saja salah... bangkit dari keterpurukan bang
    makasi...

    BalasHapus

Posting Komentar