kisah Nenek Guru

Ibu Aloysia Kolin yang akrab disapa Nenek Guru telah tiada. Itu terjadi pada tanggal 10 September 2008 dalam usia 94 tahun. Tapi jasa yang ditinggalkannya untuk gereja dan sesama tidak kecil. Hal itu dapat dilihat dari hari pengebumiannya 15 September 2008 yang mana Gereja Sang Penebus Wara Waingapu dipadati oleh umat, baik dari golongan Islam, Protestan, maupun dari kalangan Katolik. Tidak kurang dari 22 imam yang merayakan misa reqiem dalam rangka pelepasan jenasah almarhum untuk dikebumikan di pekuburan Katolik Wara. Betapa Ibu Aloysia Kolin dan Bapak Mikhail Wuring Muda, suaminya, menjadi peletak dasar agama Katolik di Paroki Sang Penebus Waingapu, beberapa waktu yang lalu penulis sempat berbincang-bincang dengannya. Inilah kisahnya;

Waktu itu tahun 1939. Seorang pemuda berusia 27 tahun kelahiran Lewo Awan Flores Timur, tepatnya 29 September 1912, menginjakkan kaki untuk pertama kali di Waitebula. Pemuda yang mendapat pendidikan seminari rendah Mataloko, kemudian melanjutkan ke seminari tinggi Sika, rupanya tidak terpanggil menjadi imam, karena itu tidak meneruskan sejak tahun 1938. Dia diutus ke Waitabula sebagai pewarta injil dengan wilayah kerja Sumba Barat dan Sumba Timur. Pemuda itu adalah Mikhail Wuring Muda yang kemudian menjadi suami Ibu Aloysia Kolin. Menreka menikah 7 Agustus 1941.
Sebagai Pastor Paroki Waitabula saat itu Pater Aloysius de Rechter. Bersama Pater de Rechter, Mikhail Wuring Muda mengunjungi Waingapu tiga bulan sekali mewartakan injil. Hubungan lalulintas Sumba Barat dan Sumba Timur waktu itu sangat sulit. Jalan raya juga masih buruk. Pernah ‘oto’ mereka terbalik di Tana Daru, tapi untung masih selamat meski mereka mengalami cedera kecil yang tidak membahayakan.
Karena pertimbangan sulitnya hubungan lalu-lintas, maka sejak 1940 Bapak Mikhail Wuring Muda menetap di Waingapu hingga menikah dengan Ibu Aloysia Kolin kelahiran Larantuka 20 Juni 1914.
Mulai saat itu keluarga muda menjalin hubungan dengan beberapa nama; Hendrik Hena Ama, Ola Tokan dan Kapitan yang kemudian menjadi murid mereka yang pertama. Dan inilah yang menjadi cikal-bakal umat Katolik di Waingapu. Bapak Mikhail dan Ibu Aloysia memilih tempat tinggal di Pakamburung. Dari sinilah kegiatan gerejawi dilaksanakan seperti berdoa bersama serta latihan nyanyi bersama. Untuk menjalin kerjasama, Bapak Mikhail segera menjalin hubungan dengan beberapa pendeta, diantaranya Pendeta Dara dan Pendeta Bapa Pa (ayah Ibu Paulina Bara Pa mantan Pemimpin SMP 2 Waingau). Karena sulitnya mengabar injil untuk memupuk dulu iman beberapa anggota yang waktu itu sudah belasan orang yang berada dalam kota.
Perkembangan umat Katolik yang mulai berkecambah tiba-tiba terhambat ketika Jepang mendarat di Waingapu. Bom dijatuhkan dan penduduk kota berlarian mencari tempat persembunyian. Atas bantuan seorang mantan napi Bapak Mikhail dan Ibu Aloysia dihantar ke Makamenggit 30 KM dari Waingapu dan menetap hampir satu tahun. Meskipun demikian Bapak Mikhail turun Waingapu dua minggu sekali dengan menunggang kuda yang disiapkan oleh Ama Tua Deru mantan Napi yang menyelamatkan keluarga tadi. Di Panda ada rumah Bapak Hendrik Hena Ama yang waktu itu pegawai penjara. Di sinilah Bapak Mikhail menginap dan menghimpun kembali umat awal yang berjumlah belasan orang untuk berdoa dan bernyanyi bersama yang diambil dari lagu-lagu Gregorian.
Pada suatu hari orang Jepang menggeledah rumah0-rumah di Pakamburung. Tidak terkecuali rumah keluarga Bapak Mikhail. Koper yang berisi pakaian misa (walaupun pastor tidak ada, tapi selalu dibawa di tempat berdoa) digeledah. Begitu orang Jepang melihat salib, penggeledahan dihentikan. Dengan hormat yang mendalam si jepang meninggalkan rumah itu.Dan Bapak Mikhail merasa aman.
Di Makamenggit terjadi mukjisat kecil. Pada suatu hari Ibu Aloysia diinterogasi oleh beberapa tentara Jepang yang mengira ibu ini orang Belanda karena berkulit putih. “Ibu orang Belanda, ya?” tanya tentara Jepang. “Tidak tuan, saya orang Flores” jawab Ibu Aloysia. “itu tidak mungkin. Mana ada orang Flores yang putih” lanjut tentara Jepang yang tidak yakin meskipun beberapa orang Makamenggit membenarkan bahwa ibu ini benar orang Flores. Tentara Jepang bertanya terus sambil mengayun-ayunkan samurainya (kelewang). Tiba-tiba ada ayam terbang dan hinggap persis di depan tentara tadi. Serta merta tentara itu meninggalkan Ibu Aloysia lalu mengejar ayam karena memangnya ini yang mereka cari di setiap kampung. Sedapat ayam itu tentara kembali lai. Ama Tua Deru segera menemui tentara Jepang, dan dalam sikap ramah dia menjanjikan ayam tiap kali datang ke Makamengit asal Ibu Aloysia tidak dipengapakan. Tentara Jepang setuju.
Pada tahun 1944 Mgr. Ogihara uskup Jepang mengunjungi Waingapu. Di Waingapu Bapak Uskup menyakan kalau-kalau di sini ada orang Katolik. Bapak Mikhail sekeluarga bersama umat menghadap Bapak Uskup yang disaksikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Peristiwa ini membawa hikmat bagi perkembangan umat selanjutnya. Karena sejak peristiwa itu Bapak Mikhail dan keluarga Katolik lainnya tidak lagi diamat-amati apalagi digeledah oleh tentara Jepang.
Suatu hai di Panda. Sementara BApak Mikhail memimpin kebaktian (tanpa imam tentunya), tiba-tiba ada bunyi sirene. Pesawat terbang begitu rendah. Semua orang di dalam rumah, apalagi ibu-ibu berlarian mencari lubang persembunyian. Karena Bapak Mikhail tidak ada di tempat persembunyian, orang panik mencarinya. Ternyata Bapak Mikhail masih di dalam rumah tadi. Beliau sedang asyik menyusun kembali pakaian misa menurut susunan semula; kasula, alba, amik, stola, manipel, singelum. Bom pun dijatuhkan di Wangga lama, barulah Bapak Mikhail lari ke tempat persembunyian.
Setelah situasi agak aman Bapak Mikhail membuat rumah dekat SD (SR) Anda Luri lama dan gedung gereja lama. Bapak Hendrik Hena Ama adalah kawan setia. Seperti dituturkan Ibu Aloysia saat itu umat belum bisa berkembang karena situasi belum kondusif. Untuk mendapakan ijasah guru sekolah, karena sulitnya tenaga guru waktu itu, Bapak Mikhail melanjutkan ke Normal School di Ndona Flores. Sementara Ibu Aloysia mengajar di SR Ndona karena memiliki ijasah OVO (tamat tahun 1930 di Larantuka).
Setelah menamatkan Normal School Bapak Mikhail dan Ibu Aloysia kembali ke Sumba, namun bukan di Waingapu, melainkan di Waitebula. Bapak Mikhail dan Ibu Aloysia mengajar di SR Waitebula. Waktu itu SMP Waitebula dibuka yang dipimpin oleh Pater de Rechter. Bpak Mikhail dialihkan ke SMP untuk mengajar Bahasa Inggris. Karena belum ada kelas III semua siswa harus melanjutkan ke SMP Pancrasio di Labao Larantuka. Salah satu siswa yang melanjutkan ke sana yang masih diingat Ibu Aloysia adalah Jacobus Tedenz (kini mantan Lurah Waitebula).
Tahun 1955 Juli Bapak Mikhail pindah Waingapu. Bapak Mikhail mengajar di SMP Anda Luri sedangkan Ibu di SR (SD) Anda Luri. Pemimpin SMP Pater Donkers merangkap Pastor Paroki menggantikan Pater Kale Bale. Waktu itu sudah ada umat di Kalumbang dan Panda. Yang namanya pastor pembantu belum ada.
Setelah Pater Donkers menyusul Pater Gerhard Legeland dari Kongregasi CSSR yang menggantikan Kongregasi SVD di Sumba. Pater Gerhard Legeland menjadi Pastor Paroki Wara (Sang Penebus) yang gedungnya diresmikan pada 8 September 1956. Pater Gerhard Legeland kemudian dilantik menjadi Perfek Apostolik Sumba-Sumbawa. Beliau mendirikan KGA (Kursus Guru Agama), yang kemudian berganti SGA (Sekolah Guru Agama) dan terakhir menjadi IPGA (Institut Pendidikan Guru Agama).
Tahun 1970 Bapak Mikhail Wuring Muda dan Ibu Aloysia Kolin pensiun (Bapak guru swasta, Ibu guru negri), namun dalam kegiatan gerejawi keduanya tetap aktif. Ibu Aloysia menangani anak temu minggu hingga tahun 2000, kemudian menerima katekumen. Bapak Mikail Wuring Muda meninggal 11 Juni 1977. Namun namanya tetap dikenang sebagai peletak dasar iman kristiani di Paroki Sang Penebus. Di bidang pendidikan beliau juga tetap dikenang dalam lagunya “Mars Anda Luri”.
Saat meresmikan gedung gereja Sang Penebus yang baru belum lama ini, Ibu Aloysia mengenangkan kembali pembangunan gedung gereja lama. Ada swadaya umat berupa batu dan pasir. Ibu Aloysia masih ingat betapa setiap istirahat, anak-anak SD dibawah bimbingan Ibu ramai-ramai mengambil pasir kali (karena tidak jauh), dan itu hanya memakai tempurung kelapa. Disebutkan pula, Om Buto yang adalah tukang Don Bosco waktu itu sangat berperanan dalam membangun gedung gereja lama.
“Saya sekarang dalam usia 92 tahun (diungkapkan 25 Juli 2006) senang sekali masih bisa menyaksikan pentahbisan gedung gereja yang baru”, kata Ibu Aloysia yang akrab dipanggil Nenek Guru atau Mama Nyora oleh anak-anak temu minggu, bahkan oleh orang-orang dewasa. “Tapi harapan saya”, Ibu Aloysia melanjutkan lagi, “Kuantitas umat yang sudah begitu banyak, hendaknya diimbangi juga dengan kualitas iman”. Demikian Ibu Aloysia mengakhiri ceritanya.


sumber; waingapu.com

Komentar

Posting Komentar