Bodoh, lelaki bodoh!! Seperti itulah kata kata yang sering ku dengar setiap kali mereka melihatku yang lagi sendirian di bawah beringin tua ini, dan menikmati kebiasaan ku setiap harinya, menulis segala sesuatu yang aku pikirkan ke dalam agenda hitam ku ini.
Aku merasa mereka telah benar benar bosan dengan diriku, dalam beberapa tahun ini aku hanya menetap disini semenjak pagi hingga malam dan tak pernah mau beranjak, kalaupun hatiku gundah aku akan bercerita dengan beringin tua ini, bercerita tentang semua hal, tentang betapa bencinya aku pada gadis yang berkaos hijau (aku sering meraung raung kesetanan bila melihat ada gadis yang memakainya) atau tentang anak anak kecil yang memangilku gila dan bercerita tentang ketakutanya akan diriku. Mendengar ucapan anak itu aku hanya bisa bereaksi dengan melemparkan senyum ku saja, dan berpikir dalam hati saja ‘tak ada rasanya seorang yang gila setenang aku’.
Sudah sekitar sepuluh tahun aku berteman dengan beringin ini, di beringin tua ini setiap harinya banyak sekali yang memberikan aku makanan, slalu berganti orang setiap harinya membawakan nasi serta lauknya terkadang tempe ataupun ikan, di antara mereka ada yang mengaku mereka temanku, saudaraku, tapi aku tak pernah percaya itu, karna tak ada wajah yang ku kenali, namun biasanya ada seorang ibu yang seumuran dengan ibuku selalu mengantar gule dan sate setiap awal bulannya, iya keduanya makanan kesukaanku.
Mungkin iba, begitu pikiranku tentang ibu ini, dia selalu menemaniku lama dan bercerita banyak hal tentang sebuah pasar yang baru di bangun di seberang jalan, katanya pasarnya yang dulu sudah digantikan pasar yang berlantai empat, atau sesekali kita akan tertawa bersama bila dia menceritakan tentang anak gadis sekarang yang dandananya semirip dengan ondel ondel penuh warna warni di wajah mereka begitu katanya, dan aku hanya tersenyum lucu membalasnya.
Di beringin tua ini, ibu tua itu sudah sedemikian dekatnya denganku, terkadang seharian dia akan menangis tersedu sedu sambil membelai kepalaku, terus memandang wajahku dan melanjutkan tangisnya lagi. Atau sesekali dia melihat agenda hitamku, dan bertanya tentang salah satu tulisan di halaman depan agendaku, “untukmu umbu dari wanita yang paling mencintaimu, kecup sayang. nona” aku menjawab sekenanya saja “ akupun bingung bu, semenjak kapan tulisan itu ada disana, seingatku aku tak pernah menulisnya, lagian aku gak kenal dengan seseorang yang bernama nona” dan kulanjutkan lagi dengan senyumanku.
Pernah sesekali waktu dia menceritakan tentang anak gadisnya yang paling bungsu, katanya anak gadisnya anaknya yang paling manja, sangat menyukai coklat, warna hijau, dan es buah, dia selalu bangga pada anak gadisnya apalagi ketika anaknya membawakan ibadah di gereja. Ketika ku tanyakan kemana anak gadisnya itu, pelan pelan mutiara cair dari matanya mengaliri tebing tebing di wajahnya, “dia telah tiada nak, tewas dalam kecelakaan ketika berusaha mengambil Rosario kekasihnya” dan ku bertanya penuh keheranan “ bukankah anak gadismu pendeta?”. Dia hanya terdiam dan menjawab “iya, tapi kekasihnya seorang khatolik”.
Aku pernah melihat foto anak gadisnya ketika ibu itu sengaja meninggalkannya di sampingku,aku tak tau alasannya apa. gadis itu begitu terlihat sempurna gumanku dalam hati, tingginya semampai berkulit coklat, dan sinarnya matanya yang begitu tajam di balut dengan kaos hijau daun. Dan hanya pada foto ini aku tak pernah ketakutan seperti sebelum sebelumnya, namun ada perasan teduh teramat sangat menghinggapi ku lama serta denyut jantung yang semakin cepat.
Namun hari ini hari yang terasa berbeda, ibu tua itu membawakan lagi nasi beserta lauknya dan segelas jus alpukat, yang kusantap dengan lahapnya. Ibu itu hanya sebentar saja, dia hanya menitipkan seuntai Rosario berwarna merah marun, sambil berkata “umbu sudahlah, jangan begini terus, nona sudah hampir sepuluh tahun pergi, dia pasti sangat mencintaimu dari alamnya sana” aku hanya bisa mematung keheranan dan bingung mendengar ucapannya, sambil menyaksikan ibu itu berlalu dengan derai air mata yang tak tertahankan.
Keesokan harinya seseorang menyampaikan padaku bahwa ibu tua itu telah meninggal karena kanker yang di deritanya, sedih rasanya hatiku namun setelah beberapa hari kemudian aku melupakan kejadian itu dan melanjutkan kebiasaanku menulis di beringin tua ini, sambil sesekali mendengar ucapan seorang gadis “kasian pria itu, dia gila, semenjak kekasihnya meninggal karna kecelakaan, sepuluh tahun lalu”.
dps,november, 2011
keren kk umbu,,
BalasHapusbaca cerita ini pas hujan, dingin ditambah makan mie rebus,, hmm serasa gimana gitu,,hehehehehe
pokoknya mantap deh,,
thanx.. su sering baca sa pu tulisan ew
BalasHapussama2 kk..
BalasHapus