Ulasan sekilas mengenai hubungan marapu dan agama




Apa itu agama dan bagaimana hubungannya dengan tradisi setempat, merupakan pertanyaan favorit bagi mereka mereka yang masih peduli dengan tradisi, akar budaya dari tempatnya masing masing, ataupun wilayah secara regional.

Harus di akui sebelum membicirakan hubungan “spesial” antara keduanya, kita harus beranjak dari sebuah tatanan pola pikir bahwa “keyakinan” adalah hak asasi seorang manusia dan tidak bisa di intervensi secara personal maupun kelompok, apalagi oleh sebuah Negara (pemerintah). Dalam perjalananya Indonesia kita ketahui memiliki kemajemukan yang luar biasa di karenakan oleh banyak sekali kultur yang berdiam didalamnya, dan kultur kultur tersebut menciptakan sejarah, tradisi, ritual serta normanya masing masing, dan untuk mencirikan ini saya lebih menyebut kesemuanya itu sebagai identitas dari kultur tersebut. Identitas identitas tersebut juga mengatur pola kehidupan social masyarakat baik secara horizontal maupun secara vertical, sehingga di Indonesia banyak kita kenal dengan kepercayaan “animisme” yang beraneka ragam. Kalau di batak kita mengenal dengan nama “parmalim’ di sunda kita kenal dengan nama agama “cigugur” dan di daerah sumba kita kenal dengan istilah “marapu”. Kepercayan kepercayaan ini coraknya cukup berbeda bukan hanya sebagai sebuah konsep tatanan religius namun sudah mencapai dalam satu fase sebagai tradisi dari  kelompok masyarakat tersebut, sehingga seringkali kita sangat sulit membedakan ritual yang di jalankan apakah sebuah tradisi ataukah sebuah aturan agamis.

Namun dalam ulasan kali ini saya bukan membicarakan mengenai kosep structural kulturisme di masyarakat di Indonesia, namun mencoba mengulas tentang hubungan antara “marapu” dan agama di pulau sumba.
Agama mulai masuk disumba sekitar akhir 1700an sampai awal 1800an di mana agama yang pertama masuk adalah agama Kristen protestan dan agama Kristen khatolik, kedua agama ini di bawah oleh penjajah yang terwakili oleh misionari misionaris, namun dalam perjalannya kedua agama ini tidak serta merta langsung diterima oleh masyarakat sumba karna banyak hal yang menjadi aturan di dalam kedua agama ini sangat bertentangan dengan ajaran “marapu” sehingga butuh proses yang sangat panjang dan berkelanjutan sehingga kedua agama ini mampu menepikan “marapu” dan ini dapat kita lihat buktinya semakin banyak di bangun tempat tempat ibadah di desa desa.

Dari proses penyebar luasan agama di pulau sumba pada akhirnya menimbulkan dua(2) ciri hubungan yang terjalin antara agama dan marapu, yaitu:
·        yang pertama Sebuah aksi tolak menolak antara agama dan marapu, dimana agama melihat marapu dilihat sebagai ritual ritual yang di lakukan oleh orang orang “kafir” dan marapu melihat agama sebagai “musuh” di karenakan secara tidak langsung menghapus ritual ritual yang telah dijalankan turun temurun contohnya kebiasaan “hamayang”.
·         Yang kedua munculnya hubungan berkisanambungan antara marapu dan agama dimana masih banyak kita lihat individu yang menjalankan kebiasaanya ketika masih marapu dan adapun masih di hormatinya konsep konsep “keramat” atau pamali walau sudah memeluk salah satu agama.


Terlepas dari kedua hal tadi yang saya kategorikan sebagai tipikal dari hubungan antara marapu dan agama, seringkali juga hubungan ini menciptakan gesekan gesekan social di masyarakat, contohnya ketika salah satu teman SD (sekolah dasar) saya yang akhirnya berhenti sekolah di karenakan di paksa memeluk salah satu agama yang di atur Negara sehingga sesuai dengan kurikulum yang ada, ini jelas sebuah pelanggaran hak asasi manusia karna ada individu yang tidak bebas merdeka memilih apa yang menjadi keyakinannya dan tidak bebas mendapat pelayanan pendidikan.


Adapun cerita lainnya yang sering kita dengar adalah gesekan gesekan antara beberapa agama demi memperebutkan calon anggotanya agamanya atau sering kita dengar istilah “menang jiwa” karna didasari sebuah anggapan bahwa marapu itu kafir!!!, sedikit miris karena cirri kita sekarang ini di bentuk oleh mereka para pendahulu kita. Agama seharusnya bukan lagi memperhitungkan kuatitas dari umatnya namun bagaimana meyakinkan individu sehingga merasakan “nyaman” dan “yakin” diselamatkan. Dari gesekan ini akhirnya memicu seringnya terjadi proses perpindahan satu agama ke agama lain dikarenakan para “pelayan” agama menjadikan para penganut “marapu” sebagai sebuah kontes.

******

Harus menjadi sebuah catatan besar, bahwa dalam perjalanannya marapu telah menciptakan identitas bagi masyarakat sumba dan ini tertuang dalam ritual dan tradisi marapu, saya tidak berani membayangkan apa jadinya kita sebagai orang sumba apabila marapu benar benar hilang dari tanah sumba, walaupun ritual dan tradisinya masih dijalankan sebagai elemen pariwisata namun esensi (makna) yang mempengaruhi identitas, sudah hilang dan ritual menjadi hampa tanpa makna.

Yang sebenarnya Biarlah hasil akulturasi menunjukkan bahwa agama memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan. Namun, tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Dan kiranya Hasil akulturasi itu juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan sumba (marapu).

Mungkin sekian ulasan saya, semoga bisa menjadi bahan pemikiran kita masing terutama sebagai bagian dari masyarakat agama dan masyarakat adat, sebagai penutupnya menurut saya MARAPU BUKAN KAFIR!!




Dps, November, 2011

Komentar

  1. Saya sangat setuju dengan pendapat Anda bahwa perlu ada akulturasi antara budaya setempat dengan sesuatu yang baru, yaitu agama. Jelas, agama Marapu bukan kafir. Marapu adalah bagian dari kearifan lokal yang harus dipertahankan oleh masyarakat Sumba. Saya sendiri sangat ingin menghadiri acara keagamaan Marapu, tapi sayang Sumba cukup jauh meskipun saya pernah satu hari menginjak tanahnya dan pergi sebentar ke Sumba Barat. Salam kenal: ade Tanesia (adetanesia.wordpress.com)

    BalasHapus
  2. trimakasih, salam kenal juga.. sekarang semakin jarang orang muda sumba yang peduli dengan akar budayanya

    BalasHapus
  3. sumba....
    so is beutiful island
    pulau dengan sejuta misteri sayang kultur adatnya mulai di lupakan oleh penduduk setempat padahal itu adalah ciri khas masyarakat setempat. semoga kelak ada tangan yang masih mau peduli pada pelestarian kebudayaan....

    BalasHapus
  4. sumba...
    the beutiful island...
    pulau dengan sejuta misteri...

    namun sayang pergesaran jaman membuat marapu terlupakan padahal itu adalah akar budaya yyang seharusnya di jaga....

    BalasHapus

Posting Komentar