Aku ingin jadi guru

Aku mengerti sekarang kenapa mereka menjadi guru, bagi mereka, kedua orang tuaku yang berprofesi sebagai guru. Guru adalah kehidupan, hingga suatu saat ayah berkata
“jangan pernah kau bercita cita, untuk jadi guru!”
“kenapa… pa?” sanggahku
“intinya, jangan jadi guru, kau harus lebih baik dari kami!”

‘Namun aku tetap harus menjadi guru’, gumanku dalam hati, aku tak harus tau alasan kenapa mereka tak mau aku menjadi guru, dan kalaupun aku mengetahui, aku tetap akan menjadi guru.

Bagiku di hargai oleh semua orang, adalah kebanggaan, adalah sebuah kebahagiaan, dan berbagi dengan orang lain adalah suatu kemuliaan. Dan Guru adalah jawaban semua itu.



“umbu, mau kemana lagi kau?” teriak ibu ketika melihat aku yang berusaha menjauh dari perdebatan yang tak habis habisnya selama seminggu ini.

“mau keluar ma…”
“bosan tiap hari bertengkar” jawabku

“tapi ayahmu belum habis bicara!”
“dan kau ingat umbu… kau tidak boleh jadi guru!” suara ibuku semakin meninggi taktala melihatku yang beranjak keluar.

“ma… tidak ada yang salah dengan guru, toh kalian berdua juga guru!” akupun membalas teriakan ibuku, sambil menghidupkan motor kesayangan dan berusaha keluar dari ketegangan yang melapisi setiap dinding rumahku.



******

Di atas bukit ini aku bisa meresakan sebuah ketenangan, memandangi gradasi warna kotaku, awan yang mulai suram di terkam merah senja.tarian tarian ilalang tua, dan yang terpenting Aku bisa berpikir apa saja dari sini dan bisa berbicara dengan apa saja yang ada di hadapanku, mungkin dengan angin yan kuharap mampu meniupkan wajah wajah kemarahan kedua orang tuaku.

Apa salahnya jadi guru? Toh, mereka berdua juga guru, aku dan saudaraku di besarkan dari guru, artinya aku pun bisa menjadi guru seperti mereka, dan anakku pun bisa menjadi guru, seperti mereka juga.

Aku merasa, pikiran mereka terlalu sempit, aku mungkin seorang sarjana akutansi, namun bukan berarti aku harus jadi akunting, aku bisa mengajar akutansi bila menjadi guru, intinya aku harus jadi guru, mulai besok aku akan siapkan semua perlengkapan untuk pengajuan lamaranku.

“aku ingin jadi guru” teriakanku menggema di bukit ini, dan kuharap suara teriakanku akan menakutkan alam, yang sedari tadi menatapku tiada bosan. Dan ku dengar bisikan angin
“umbu… gaji guru kecil”


*****

Malam ini aku berusaha membenturkan pikiranku bersama atap atap kamar, memandang lampu pijar di depanku yang terus berteriak setiap  waktu tanpa henti, pernah sesekali teriakanya agak melemah dan sepersekian detik lagi kembali berteriak kencang menggema hingga seluruh seudut kamar hingga terterangi dengan teriakannya.

‘terus aku apa?’ gumanku dalam hati, hanya meneriakan keinginan hatiku untuk menjadi seorang guru, aku tak mampu, kedua orang tua ku seakan akan tembok tinggi yang bersuara dengan jarum jarum besi yang keluar dari mulut mereka, memasuki telingaku dan tinggal didalamnya, dan ketika aku berpikir tentang keinginanku menjadi guru, jarum jarum kecil ini sontak akan bekerja, menusuk dinding telingaku hingga aku berhenti berpikir bahwa aku akan menjadi seorang guru, guru yang mampu menggembalakan domba-dombanya agar tak terjebak pada goda goda mantra dunia.

“umbu...makan!!” suara adikku memanggil
“iya.. sebentar lagi”
“ayo, sekarang!... mama ada perlu!” dia meninggikan suaranya

Dengan sedikit malas, ku ambil kaos kutangku menuju ke ruang makan, aku tau sebenarnya apa yang akan di omongkan oleh kedua orang tuaku ini, namun aku berusaha menghargai mereka, biar bagaimanapun, mereka yang menjadikanku seperti ini, dan mereka pula yang menjadi alasan utama kenapa aku harus menjadi guru.

Ternyata benar apa yang ku perkirakan, aku benar di  cecar dengan segala pertanyaan yang menyudutkan aku pada sebuah ketidak berdayaan, yang semakin memaksaku untuk semakin berontak


“sudah ma!... yang penting saya ingin jadi guru!!” suaraku akhirnya pecah setelah merasa kata kata mereka semakin menikam alam pikir ku.
“iya umbu… tapi kau sudah pikir matang-matang”
“lihatlah ayah ibu mu ini, kami berdua guru berpuluh puluh tahun, mengabdi sepenuh hati, tapi apa yang kami dapat!!!”
“hidup tidak cukup dengan sebatas gelar pahlawan tanda jasa!!”
 perlahan lahan derai air mata wanita yang sangat ku cintai ini pelan pelan melewati tebing tebing wajahnya yang semakin mengkerut. Aku kenal perjuangan hidupnya, dia sempat sambilan menjajakan makanan ringan agar dapat menambahkan uang jajan aku dan ketiga saudaraku. namun keinginanku menjadi guru telalu kuat untuk di runtuhkan air mata wanita ini.

“umbu tolong mengerti!!” lanjut ibuku lagi
“semua gelar dan pengabdian tak bisa memberi makan kau dan seluruh saudaramu itu”

“tapi.. ma”
“sudahlah umbu.. dengarlah ucapan ibumu” akhirnya suara ayahku terdengar juga
“umbu, saya dan mama mu melewati banyak masa sulit, dan itu karena gaji kami kecil, memang setiap tahun ada yang namanya hari guru, tapi itu hanya sebuah symbol penipuan agar mereka tak menghargai pengabdian kami dengan harga yang setimpal”

“di papua sana, guru menerima gaji tiga bulan sekali”
“ lebih tinggi penghasilan maling, bila dibanding guru”

“ jadi menurut, bapa… lebih baik saya jadi maling” aku membalasnya karna begitu tersinggung dengan ucapan ayahku

“bukan begitu maksudnya saya.. umbu”
“kau kan sarjana akuntansi… cobalah melamar ke bank atau kemana, yang penting jangan guru” sambung ayahku lagi, dengan nada yang makin rendah.

Aku merasa benar benar tersudut bila melihat wajah kedua manusia di depan ku kini, walau usia mereka semakin renta, pedulinya padaku belum runtuh sedikitpun

“pa.. ma, inilah alasanku menjadi guru”
“maksudmu?” Tanya ibuku
“ma,.. kalian lah alasanku menjadi guru”
“aku bisa seperti ini karna kedua guru yaitu kalian”
“ aku ingin memiliki anak yang nanti bisa ku ajarkan tentang semua alphabet, tanpa harus mikir urusan sana sini”
“saya masih ingat jelas, betapa bangganya saya menjadi seorang anak guru”
“ dan saya ingin anak saya merasakan hal yang sama”
“bangga dengan orang tuanya yang hanya seorang guru”
“bukan karna nominalnya, tapi karna pengabdiaanya”
“dan jujur, pa.. ma, saya sangat bang dengan kalian berdua”

Kedua orang tuaku hanya terdiam, berusaha meresapi semua yang keluar dari bibirku, dan ibuku hanya memandang setiap inci tubuhku, tanpa berkata kata namun aku melihat jelas pendirian mereka mulai goyah, sorot mata ayahku membicarakan itu pada telingaku, dan aku mendengarnya
“umbu… terimakasih sudah bangga pada kami”

******

Beberapa hari kemudian aku melihat ibuku sedang berdandan dengan penuh keanggunan katanya dia lagi diundang sama ibu bupati yang kebetulan muridnya  dulu, ketika masih mengajar di Sekolah Dasar.


Dps, desember, 2011

Komentar