Kisruh, rangkap jabatan


Sudah hampir dalam beberapa bulan polemik tentang kecurigaan terjadinya pelanggaran undang undang no 32 tahun 2004, khususnya pasal 28 tentang larangan bagi kepala daerah dan wakil daerah, polemik yang berawal muncul di salah satu group di jaringan sosial (sumba timur bercerita) telah melibatkan banyak individu dan banyak komentar dari yang paling halus sampai pada kata kata yang sebenarnya tidak cukup layak di utarakan,

Dari kenyataan di atas maka penulis mencoba menelaah kembali Undang-undang tersebut, dari kacamata penulis semoga ini bisa menjadi bahan transformasi pemikiran sehingga dapat menjadi corong bagi sebuah solusi dan eksekusi

Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 28
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:


a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi
diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan
kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain;

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik
negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;

c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
secara langsung. maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan
daerah yang bersangkutan;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan
selain yang dimaksud dalam Pasai 25 huruf f;

f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;

g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota
DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.



Dari beberapa ayat yang di curigai adalah ayat b dan c, dimana wakil bupati sumba timur yang berprofesi sebagai seorang dokter ahli bedah menjabat sebagai seorang wakil bupati.

Penjelasan pada ayat b, pelarangan yang di maksud adalah menjabat struktural dalam suatu perusahaan, nah disini pak Matius Kitu tidak sama sekali menjabat secara struktural dalam sebuah perusahaan, parpol dan sebagainya, yang terjadi adalah beliau membuka praktek sebagai bagian dari profesinya sebagai seorang dokter yang dimana Kab. Sumba timur memiliki kekurangan tenaga ahli bedah, bila merujuk pada ayat a pasal 28 yang berbunyi dilarang “merugikan kepentingan umum” saya tidak berani membayangkan bila beliau mengambil keputusan rehat sejenak selaku seorang ahli bedah selama menjabat Wakil kepala daerah, bukan saja memberikan kerugian bagi masyarakat banyak, namun sangsi sosial yang di terimanya pasti sangat berat.
Secara kategorial ayat yang runutannya berada pada urutan lebih di atas, memiliki tingkat urgensi yang lebih di banding ayat selanjutnya.

Penjelasan pada ayat c “melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung. maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;” walaupun beberapa point di ayat ini di pisahkan oleh tanda bahasa koma (,) seharusnya point point ini tidak bisa di lepas satu-satu sehingga makna dan tujuannya bisa tercecer kemana-mana, karna ayat ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya, yang dimaksud di ayat ini, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah di larang melakukan upaya meraup keuntungan pada kegiatan yang berhubungan dengan daerah! Disini sudah sangat jelas menyatakan yang berhubungan dengan daerah, contohnya seperti intervensi dalam pelelangan proyek, aataupun ikut terlibat dalam tender yang di adakan oleh daerah setempat.

Nah bila melihat realita di lapangan yang di lakukan oleh pak Matius Kitu adalah, pekerjaan lain yang menguntungkan dirinya tetapi tidak ada hubungannya dengan daerah karena beliau membuka praktek sebagai dokter bagian dari profesi dan kode etiknya.

Dari penjelasan kedua ayat di atas, ada hal yang harus di bedakan yaitu, yang mana yang di sebut jabatan politik dan mana yang di sebutkan sebagai jabatan profesi. Pada kasus ini, beliau memang meiliki jabatan politik tapi tidak memiliki jabatan profesi, contohnya seperti kepala Rumah Sakit,

Semoga ulasan singkat ini bisa menjadi bahan diskusi untuk mencari kesimpulan yang tepat, tulisan ini hanya sebuah telaah singkat dan bukan sebuah kesimpulan akhir dari polemik ini.


syalom



Komentar