ASUMSI

“wid, pilpres pilih siapa?” celetuk ku ketika menatap siaran televisi yang ujung ujung mengenai pilpres tahun ini,
“malas bi omong yang lain saja” sungut wanita yang sering kupanggil wid, dia lebih senang menikmati status status facebook teman-temannya yang lagi bercerita tentang hal hal yang tidak penting menurutku tentang boneka, tentang salon dan hal yang aneh lain lainya, dan aku lebih tertarik dengan hal hal yang lebih laki, politik, sepak bola, dan masih banyak lagi.
“memangnya sayang bukan rakyat Indonesia? Golput walau di akui oleh undang undang namun itu tindakan yang salah to sayang” aku coba menjelaskan
“bi cerewet sekali, mendingan duduk diam nonton tu acara politik yang bikin sakit kepala” balasnya sengit sambil merapikan jilbab hitamnya.

Bagiku perbedaan adalah universal, kita semua tidak di ciptakan sama walau saudara kembar sekalipun, toh kita punya alasan individualistis mengapa Tuhan menghadirkan kita dari berbagai rahim yang dimana rahim tersebut telah dimateraikan dengan berbagai aturan manusia yang kita sebut agama.
Semejak keputusan ku mengungkapkan perasaan ku padanya, aku sudah tau karena ia tak pernah melepaskan jilbabnya dari wajahnya yang selembut gerimis, setelah setahun lebih hubungan ini ada perasaan lain yang mampu meruntuhkan perbedaan antara kami, yang sering kami sebut dengan kata nyaman dan nyaman adalah alasan kenapa kita sampai sekarang masih bertahan walau kita sendiri tau kisah ini akan kemana akhirnya. Sesekali terkadang ada perbedaan tentang ketuhanan kami, tapi kami sepakat Tuhanmu ya Tuhanmu dan Tuhanku ya Tuhanku, terlepas Tuhan kami sama sama di panggil Allah.



*****

“bi habiskan kopimu sudah dan atarkan aku pulang, sedikit lagi mau Maghrib”
“mau shalat ya?” tanyaku
“bukannya bi yang sering mengingatkan?, pake nanya segala”
Aku hanya tersenyum tipis, sambil menyerubut kopi hitam dan membakar sebatang rokok, sambil memandang wajahnya
“hmmm… jangan kelamaan lihat bisa nyangkut nantinya”
“hahahah, emang sudah nyangkut kok” jawabku
“apakah kamu ga pernah berpikit wid?” tanyaku
“ah kamu mulai lagi, kalau sudah begitu cara ngisap rokoknya, bawaanya diskusi to!”
“bosan aku bi, ujung ujungnya Cuma ngomong politik, tradisi, atau agama, mendingan kita ngomong doraemon, atau marsha”
“prêt…” jawabku sambil menjulurkan lidahku
“ o iya bi, tadi ku liat ada boneka minion di valentine, bagus banget bi, mau dong bi” sambil merajuk
“iya nanti, tunggu gajian ya”
“ah bi begitu sudah, perhitungan ini itu ini itulah, malas jadinya” wajahnya langsung cemberut
“iya sayang, nanti baru di beliin, tunggu gajian, lagian uang yang kemarin kan sudah di masukin tabungan”
“ tabungan lagi, beliin ya bi, sekarang saja bi takut di ambil orang” widya pun seraya berdiri dan menarik tanganku, akupun berdiri mengikutinya namun tak mau melangkah
“sayang, itukan tabungan untuk pernikahan kita” balasku lembut
“Apa! Nikah?”
Wajah tiba tiba berubah serius dan melepaskan tanganku, lalu duduk kembali dan tertunduk lesu
“kenapa wid, ga ada salahkan menyimpan memang dari sekarang” sambungku lagi
Perlahan lahan ku raih tangannya namun ia tetap mengepalkan tangannya
“malas aku ngomong itu bi”
“maksudnya” tanyaku
“bi kan tau keluargaku keras”
“memangnya keluargaku lembek begitu” jawabku sambil memelotokan mataku
“bukan begitu bi, itu masalahnya” ia menujuk kontas yang teruntai di leherku
Akupun terpaku
“aku kafir begitu maksudmu?” tanyaku lagi berusaha memojokannya dengan nada yan mula meninggi dan menatap wajahnya yang tertunduk
“aku malas menjawabnya bi”
“wid kita sudah setahun, ku kira sudah waktunya kita membicarakan ini”

Namun widya masih saja masih terdiam makin menundukan wajahnya, memainkan jarinya seolah-olah lagi menuliskan sesuatu di lantai kamar kostku, tak berapa lama kemudian butiran cair meluncur perlahan berdentam halus dengan ubin putih yang membisu, aku pun terpekur, namun butiran air itu telah menjelma menjadi irama isak perlahan yang sedu sedan setajam belati menikam tempat di hatiku.

Aku pun bangun, tak tahan rasanya mendengar isaknya, kakiku ikut gemetaran pilu, menuju rak buku melanjutkan kebiasaan ku ketika hati lagi setawar mata air sabana, ku pilah pilah beberapa buku bacaanku, adapun ku ambil madre karangan Dee, dengan harapan menghentikan tawarnya, ku baringkan tubuhku dikasur berusaha mengalihkan alam pikirku, sambil meliriknya, yang masih terjebak dalam isak yang perlahan.

“bi marah ya?” tanpa kusadari tiba-tiba di sudah duduk di ujung kakiku sambil memaikan jempolku, aku hanya berusah terdia merasakan geli
“bi marah ya?” Tanyanya lagi
“bi, maaf ya” sambil menggoyangkan kakiku, aku pun sengaja asik membaca, senang sekali rasanya mencandainya
“masih marah,ku pulang bi!”
Aku pun langsung cepat cepat melepaskan bacaanku lalu duduk berhadapan dengannya
“iya sayang, maaf ya”
Iyapun mengangguk
“sayang pada surat An-Nisaa, kalo ga salah menuliskan bahwa Allah itu esa,” lanjutku lagi
“ hmm mulai lagi bi”
“sedikit saja ya sayang” balasku
Iya pun terdiam sambil mengutak ngatik hapenya, dan aku menunggu jawabannya
“iya bi, di korintus pun paulus mengatakan hanya ada Satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadanya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup” jawabnya

Akupun bingung mendengar jawabannya, tak pernah sempat berpikirnya diriku kalau diapun membaca kitab suciku, selama ini aku hanya melihat dia hanya sibuk dengan urusan urusanya yang tak penting selain kerjaanya, berbeda denganku yang memang memiliki kebiasaan mengutak ngatik keingin tahuanku, terkadang mempelajari beberapa buku tentang agama lain hanya sebatas menguji keyakinanku.

“bi kaget ya?” tanyanya
Aku hanya mengangguk tak percaya
“sebenarnya bi, semenjak beberapa bulan yang lalu, sudah seringnya ku baca beberapa buku rohani yang di pijamkan temanku bi, namun ada beberapa hal yang ku kuatirkan, kalo ga salah di 2 Korintus 6:14-15, yang bunyinya Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?”

Aku menelan ludah,. Ada hal yang tak ku ketahui namun di ketahui wanita manis berjilbab ini, ku ambil lagi sebatang rokok kretek dan membakar serta mengisapnya dalam dalam, berusaha menerjemahkan maksud nats itu.

“sayang bikin kopi lagi ya” berusaha mengalihkan pembicaraan yang sebenarnya telah ku mulai
“bi kenapa? Takut ya, atau ga percaya?”
“Gini bi, maksud nats itu bahwa dalam memilih pasangan hidup, kita harus memiliki pasangan yang satu iman” sambungnya lagi
Setelah ku dalami maksud nats tersebut rasanya perlu mencari hal yang seimbang, dan tiba tiba melintas cepat dalam alam pikirku
“di kalian pun sama to sayang, dan ada penegasan tentang kami di surat Al kafirun”
Ia hanya tersenyum, dan ini benar benar mematahkan hatiku yang keras

“iya bi, itu bi tau, trus kenapa bi tadi ngomong soal nikah, menurutku kita perlu saling memahami diri kita dan hubungan kita, waktu setahun bukan jadi standar untuk melangsungkan pernikahan, tapi kesiapan mental, kenapa sampai saat ini ku masih bertahan, jujur saja bi semenjak kenal dengan bi, aku makin mengenal dan mencintai Tuhanku, dan itu juga yang saya liat dari bi, seingat saya bi pernah bilang kalau bi tidak akan mengintervensi keyakinan siapapun termasuk orang yang bi sayangi, dan itu yang membuat ku nyaman dengan bi”

“demikianlah firman Tuhan hahahahhah” sanggahku
“heheheh, bi bisa saja, makanya jangan suka anggap remeh orang”
“ iya sayang” jawabku sambil memajukan wajahku, ingin mengecup keningnya dan ia pun menghidar
“ingat bi, belum muhrim hahahhaha” tawanya pun pecah dan wajahku memerah tomat
“hmmm… makanya di buat muhrim sudah to sayang”
“ mau dilanjutkan lagi penjelasannya firmannya nih”
“iya tapi bikin kopi dulu ya sayang” jawabku
“ iya kariting” ketusnya
“kopi.. kopi saja terus, memdingan bi nikah sama kopi”

Sambil membuat kopi aku melihat tenang wanita anggun yang kusayangi ini, terbayang pernyataan Soe Hok gie, eksponen 66 “Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik serta Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita”
lalu aku di kagetkan dengan suara Adzan Magrib

“sayang shalat dulu, kopinya biar ku lanjutkan saja”
“oke bi, antar ku pulang ya bi”
“ga usah, shalat disini saja”
“maksudnya bi?”

Aku beranjak menuju lemari, dan mengeluarkan hadiah yang harus kuberikan tepat ulang tahunnya namun tak sempat ku berikan, mungkin ini waktunya yang tepat, sebuah mukena berwarna putih, melihat itu widya terperangah kaku, matanya tiba tiba berkaca kaca melihat apa mukena yang ku pegang, kita pun terdiam sejenak, lalu diambilnya mukena dan menggengam tangan kananku ia pu merunduk dan menempelkan tanganku yang di genggam ke keningnya
“makasih ya bi”

Waingapu, 4 Juni 2014


*terinspirasi film cinta tapi beda
*Untuk teman di seberang


Untuk yang terlahir pada malam
Buah cinta bulan dan bintang
Jangan terjebak pada arus masa silam
Yang membawamu pada sabana kerontang

Rehatkan asamu pada sajadah hatiku
Dan jadikan ku akhwan
Teman mu berjibaku
Melawan hidup yang tak lagi rupawan

Waingapu, 4 Juni 2014

Komentar