manusia dalam cermin

“Umbu kau harus tes PNS, kita semua keluarga dukung dalam doa, tadi bapak sudah sms keluarga di kampung untuk bantu dalam doa”
Saya hanya mampu membalas dengan senyuman hambar.
“kau sudah ambil nomor ujian?”
“sudah pa”
“bagus, kau belajar baik baik sudah, kau download itu soal soal CPNS di internet”
“iya pa”
“ ingat Umbu, kau punya umur sudah tiga puluh, tidak perlu ada mimpi - mimpi yang aneh, jadi penulis atau apapun, ini Sumba, bukan Bali atau Jawa, dan PNS bisa memudahkan kau punya hidup sampai tua!”
“iya pa”
“ pa saya keluar dulu, ada janjian dengan anak-anak” saya pun bangun dari tempat duduk, dengan tergesa-gesa, bisa meledak rasanya, kalau harus lama-lama mendengar kata- kata yang sudah membatu di kepala, PNS dan PNS lagi.
“kau itu, orang tua suruh lain kau bikin lain”
“maksudnya pa?” langkah pun terhenti
“kau sudah cukup mengerti dengan yang saya maksud! bergaul dengan mereka hanya buat kau punya otak makin aneh saja, pentas sana sini, bikin puisi dan macam-macam, seharusnya kau sadar dengan usianya kau, yang kau butuh sekarang adalah melanjutkan hidupmu”
Saya hanya terdiam, nafas tercekat dalam tenggorokan berusaha mencerna kata demi kata, dan berusaha membenarkannya,

“kau duduk dulu, ternyata kau belum mengerti juga yang saya maksud?”
“tapi pa, saya ada janji latihan dengan mereka, untuk isi acara natal”
“iya kau duduk dulu, saya belum habis bicara dengan kau”
Sambil mengambil sebatang rokok kretek, dan membakarnya, tak ada salahnya menyenangkan orang tua yang makin renta.
 “coba kau lihat dirimu, apa pantas kau seperti ini? Bergaul dengan anak anak yang tidak mengerti apa-apa, kau sudah jadi bahan tertawaan orang banyak”
“itu urusan mereka pa, bukan urusan saya”
“Tapi kami kau punya orang tua! Kami bosan dengar cerita orang tentang kau, kadang kami kasian dengan kau, memilih meninggalkan pekerjaan demi idealisme yang bodoh dan kami tidak habis pikir dengan itu”
Mata seketika mendelik mendengar pernyataan itu, tak pernah rasanya mendengar bahasa sekeras itu keluar dari mulutnya.
“Umbu kau punya teman yang seumuran dengan kau, mungkin sudah ada yang jadi kepala seksi atau kepala bagian, coba kau liat dirinya kau, sudah jadi apa sekarang!”
“ tapi pa!”
“tidak perlu tapi-tapi!, cukup kau mengerti apa yang kami maksud, memangnya apa yang kau dapat dari anak - anak itu”
“pa kalau hitungannya uang, saya akui saya tidak dapat apa-apa, tapi setidaknya saya merasa bahagia dengan apa yang saya lakukan sekarang!”
“memangnya bahagia bisa buat kau kenyang dan menghidupimu, Umbu,,,, Umbu,,,, jangankan buat kau kenyang, untuk beli rokok saja tak bisa dengan kebahagiaan”
“setidaknya saya tidak pernah minta uang! Dan sampai saat ini hidupnya saya baik-baik”
“baik  baik? Ini yang kau katakan baik-baik? Belum punya pekerjaan tetap, atau mengerjakan sesuatu dengan bayaran trimakasih!”
“pa Tuhan tidak buta!”
“Memang Tuhan tidak buta, tapi yang buta itu kau!”
“memangnya PNS bisa membuka matanya saya? Tidak pa!, sampai detik ini saya masih punya penghasilan, walau sedikit namun cukup untuk saya makan”
“tukang becak pun prinsipnya sama dengan kau, yang penting bisa makan, itu sudah cukup!”
“iya pa! Saya sama dengan tukang becak, sama sama manusia!”
“dasar anak gila, kau memang cocok bergaul dengan tukang becak!” jawabnya dengan keras, sambil bangkit dari kursinya, dan memandangku dengan penuh kemarahan.
Menjadi pegawai negri sipil bukalah hal yang menjijikan sebenarnya, namun bagi saya hidup di mana sebuah sistem membelenggu dengan jeruji seragam keki, sungguhlah bukan sebuah kehidupan yang seksi, semua gerak gerik di monitoring, patuh kepada atasan bukan karena jiwa korsa, namun karena takut di mutasi ke daerah udik, menjadi realita yang cukup memiriskan hati, namun hidup di negara bagian timur indonesia yang jauh terbelakang mungkin limapuluh tahun bila di bandingkan daerah jawa, menjadi PNS adalah pilihan terbaik.

PNS bukan lagi masalah profesi atau pekerjaan semata, namun sudah menjadi prestise, saya kadang mencoba reflektif apa itu kesuksesan, ternyata sukses bagi daerah ini Cuma dua, yang pertama menjadi PNS atau pekerjaan yang memakai seragam, dan sukses yang kedua adalah wiraswasta yang mampu membeli mobil, sangat sederhana!.

*****
Asap rokok ini mengepul kencang, menjadi teman yang akrab menjelajahi dunia lamunan yang saya ciptakan sendiri, sesekali dengan laparnya saya meyerubut kopi hitam yang mulai dingin, menyiramnya ke dalam lamunanku yang semakin liar dan jauh. Saya jadi ingat perkataan salah satu teman yang menjadi pegawai di salah satu instansi, ‘kak, sekejam-kejamnya ibukota tetap lebih kejam Waingapu’  kata kata yang aneh memang, namun bila dicermati pernyataan ini ada benarnya, bagaimana senior senior di kampus yang dulunya menjadi panutan, sesampainya di Waingapu, sinarnya redup perlahan-lahan, seragam telah merubah mereka, terkadang bahasa yang dituturkan kepada saya saat diskusi, Cuma satu kalimat, ‘Umbu, kita haru realistis, anak istri butuh makan, kita tak bisa hidup dengan idealisme’ kalimat yang sangat mudah saya pahami dan mengamininya.
Ah, pertanyaan semakin berkecamuk, apa yang saya daptkan selama empatbelas tahun ini, apakah cukup, pengalaman, harapan dan mimpi serta jaringan yang merupakah buah dari dunia gerakan sebagai modal untuk melanjutkan kehidupan khususnya di kota kecil ini
“ka Umbu”
“ka Umbu, ka Umbu!”
“iya,, iya,,, bagaimana mega?”
“ka Umbu melamun?”
Saya hanya terdiam dan memandang anak didik yang cukup arab dengan saya
“tidak, hanya lagi berpikir saja”
“o iya gimana latihannya, anak anak baru itu sudah mulai bisa?”
“hmmmm, sudah habis dari tadi kak”
“sori Mega, ini kau kasih ke Unes, tolong minta dia beli gorengan dan teh gelas, biar Rani temani dia” saya mengambil beberapa lembar uang lima ribuan dari saku calana dan menyerahkannya
Tak berapa lama Mega kembali
“ ka Umbu kenapa? Sudah berapa hari ini latihannya seperti tidak fokus, anak anak baru itu harus dimarah ka, kalo tidak nanti susah di atur, mereka Cuma main gila saja terus”
“kau saja yang urus mereka Mega, saya lagi pusing”
“ada pikir maitua?,,, hahahaha” candanya
“maitua dari hongkong” dengan santai saya menjawab pertanyaan anak ini, menyembunyikan kegundahan agar tak berpengaruh pada persiapan mereka nantinya
Beberapa diantaranya mulai mendekati, mereka langsung lebur dalam candaan- candaan yang terkadang saya rasa garing, tapi setidaknya duduk dengan mereka ada kepuasan tersendiri, tak ada aroma kemunafikan dalam senyuman mereka, mereka tak suka basa-basi atau bertele-tele tidak seperti mereka yang katanya dewasa, mereka tak pernah bertanya tentang dari mana uang yang saya pakai untuk beli gorengan atau minuman mereka, yang mereka tau, cukup mereka senang dan bisa menyalurkan ruang kreatif dan talenta yang mereka miliki, dan itu yang saya namai kebahagiaan.
“ingat kalian harus belajar terus teknik pernafasan, dan pengucapan!”
“iya kak” jawab mereka serempak
Dan kami pun larut kembali dalam candaan dan gurauan yang terkadang saya rasakan garing, tapi itulah dunia mereka dunia penuh tawa, dunia yang merasakan sahabat adalah malaikat pelindung, yang dimana bertugas mengantar ke dunia yang lebih kompleks bertajuk kedewasaan.

****
Dalam kamar berukuran 4x4 ini Cuma ada satu springbed dengan merek America, lemari kayu dengan dua pintu, pintu yang satunya berfungsi menyembunyikan tumpukan pakaian, pintu yang satunya bertugas melindungi beberapa barisan buku yang saya koleksi semenjak dahulu, dari buku jaman kuliah, buku puisi Dicky Senda sampai puisi karangan Chairil Anwar, berbaris rapi, ada juga buku Hawa karangan Sandra Olivia Frans sampai kumpulan cerpen Kompas yang berjudul Riwayat Negeri Yang Haru, namun yang paling mencolok dari kamar yang ukuran seadanya saja ini, ada cermin dengan ukuran yang cukup besar untuk melihat siapa kita, dengan ukuran 2,5 meter tingginya, dan satu meter lebarnya, cukup menjadikannya sebagai teman setia dalam kamar ini, namun bisa saja menjadi musuh terbesar kita.
Sambil mengenggam sebotol bir dan  tangan yang satunya mengapitkan rokok kretek favorit, saya memandang manusia dalam cermin besar itu.
“kau siapa?”
Kemudian saya terdiam menatap dan menanyainya dengan nada yang lebih keras
“kau siapa?”
Namun Manusia dalam cermin itu hanya terdiam, hanya mengikuti gerakan yang saya lakukan
“kau siapa? Ayo jawab!”
Sambil menunggu jawaban darinya,Sekali lagi saya meneguk  bir dalam botol dan mengisap rokok kretek dalam-dalam
“Ayo jawab! Kau siapa!” saya berbicara makin keras, namun manusia dalam cermin tersebut tetap tak menjawab apa-apa.
Perlahan kami Saling bertatapan dengan penuh kemarahan, namun tak ada yang berubah, pertanyaan yang saya tanya tak kunjung di jawab, oleh manusia laknat yang hanya memakai kolor berwarna hitam, di tangan kanannya memegang satu botol bir, dan di tangan satunya mengapit rokok kretek di antara jari jemarinya.
“Umbu...Umbu , sudah malam ini!, kau tidak bosan teriak teriak kaya orang gila”
“ingat! jangan lupa novena, supaya kau lulus PNS!”
 “Umbu kau dengar tidak!”
‘iya pa!”
Tak lama kemudian, rosario yang terbaring di atas tempat tidur saya balutkan ke jari- jari rapuh ini ,memejamkan mata, dan menegur-Nya dalam bahasa tak bertutur. Bahasa penuh cinta yang syahdu dan Cuma kami berdua yang mengerti.
‘Rafa, saya akui mimpinya saya sangat besar, namun kau yang terbesar! Kau alasan terbesar mengubur semua mimpi dan idealisme. Amin’

 Kampung Arab, 23-11-2014

Umbu Nababan

Komentar