Aktivis pemilu?

Aku hanya bisa menarik cigaretteku dalam-dalam ketika mendengar percakapan mereka berdua, teman seperjuangan yang sering di beri label Aktivis! Sungguh satu label yang bagi sebagian orang adalah penghargaan, tapi tidak bagiku, sebutan aktivis sejujurnya membuatku benar-benar muak, apalagi harus terpenjara karena julukan itu, hidup dalam standar yang di buat oleh khalayak ramai yang sekaligus menjadi hakimnya.
Hanya karena demonstrasi yang katanya berlatarbelakang idealisme, seseorang tidak lantas di katakan seorang aktivis, vokal dalam banyak situasi bukan berarti ia seorang aktivis, benar kata Soe, kebenaran hanya di langit.
Ibaratnya tahun 66, bagaimana tokoh-tokoh pembela Nasakom tiba tiba menjadi musuh Soekarno yang paling gigih dan menjadi demonstran paling ulet dalam menjatuhkan PKI. Hari ini di kota kecil ini terjadi lagi, para pendahulu yang selalu mengkritik kinerja pemerintah menjadi antek-antek politik, dan menjadikan mereka yang berbeda pandangan adalah lawan politik yang mesti di pengaruhi atau bahkan harus disingkirkan, edan bukan? Tapi itulah Politik , edan dan harus bernaluri pembunuh.
“Tidak bisa begitu bro... itu asumsi yang salah, bro seharusnya jangan menjadi racun bagi masyarakat, pilihan untuk Golput jelas pilihan yang salah!” ucap Arlan, eks aktivis mahasiswa, yang kini bergiat sebagai pekerja sosial di salah satu LSM di kota ini.
Aku hanya menarik rokok kretek ku lagi.
“Benar Arlan saya sepakat, kita tidak bisa menyembunyikan ketakutan kita dalam pilihan Golput, seburuk-buruknya calon hari ini, bukan berarti kita tidak memilih siapa-siapa, saya ingat ada pribahasa latin yang saya lupa kata-katanya, mengatakan bahwa seburuk-buruknya seseorang tetap memiliki kebaikan dalam hatinya” sambung Nero salah satu mantan Ketua Organisasi Mahasiswa.
“ Hahahahah gila mas bro, memang bahasanya penulis bikin dug dag hahahhah” ledek Arlan
Nero hanya tersenyum senyum menyambut ledekan Arlan
“Ini bukan masalah penulis bung Arlan, seharusnya kita yang selama ini di katakan sebagai Agent Of Change harus mampu memberi solusi dalam permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarkat, bukannya bersembunyi dalam satu ketakutan!” sambung Nero
“Hahaha gimana Umbu, Nero bilang bro penakut.”
“ Mungkin Umbu lagi berpikir bung hahahhaha”
“Sudah-sudah jangan di ganggu terus, intinya begini, Pemilukada kali ini harus ada pembaharuan pemimpin, kita sudah banyak ditipu, kasian masyarakat, pemimpin kali ini harus pemimpin yang takut Tuhan mas bro”
“Tunggu bung Arlan, jangan mengambil kesimpulan yang prematur, kalau memang terjadi penipuan jangan bersandar pada asumsi, harus ada indikator yang jelas! Menurut saya pemimpin yang lalu harus melanjutkan kepemimpinannya, banyak kemajuan yang di peroleh, mulai banyak desa-desa baru muncul, bukankah ini akan memberi dampak yang positif”
“Hahahah gini bro, kalau hanya menyetujui pengajuan desa baru, pas mendekati Pemilu sama saja bro, biasalah intrik politik!” balas Arlan sengit
“Bung salah besar, itu jawaban seorang pemimpin yang mengenal kebutuhan rakyat!”
“wow.. wow jangan ganas dong, ngopi-ngopi dulu, biar cooling down” aku berusaha menurunkan suhu diskusi yang mulai memanas.
“Hahaha... santai mas bro, Tidak ada yang panas disini bro” balas Arlan.
“Bro Nero, saya hanya mau bilang pemimpin hari ini adalah pemimpin yang pro terhadap status quo.”
“Bung ini bukan masalah status quo atau tidak, jangan semata mata ia dari partai terdahulu bung Arlan langsung memberi cap status quo! Itu tidak adil namanya” neropun tak mau terpojok.
“Hahaha... tidak adil gimana bro, memang itu kenyataanya kan.”
“Itu asumsi bung Arlan saja, tidak berdasar, Cuma kesimpulan pribadi.”
Bosan juga mendengar perdebatan yang sebenarnya sudah berulang-ulang terjadi, ini masalah pilihan yang sudah sulit dirubah, dan tak ada solusinya untuk menyatukan ini. Secangkir kopi bisa menjadi solusi keadaan ini, apalagi melihat gelas kopi hitam terparkir dan hanya meninggalkan ampasnya sebelum pertarungan babak ke dua, rasanya perlu menambah kopi segelas lagi, dan menonton pertarungan ini, mungkin aku juga akan masuk ke dalamnya.
“Maaf bro Nero, saya tidak mau debat kusir disini!”
“Siapa yang debat kusir bung? Kalo kalah ngaku aja bro hahahah..” tawa Nero terdengar ringkih.
“Sori bro dalam diskusi tidak ada kalah menang yang terpenting menjaga substansi diskusi.”
“Sudah-sudah kalian dua ini, mendingan ngopi dulu, kalau boleh, saya juga ikut gabung.”
Aku menyela di tengah perdebatan mereka
“Boleh mas bro, biar tambah seru.”
“Hahahah... oke, saya cuma ingin menjelaskan tentang kenapa saya akhirnya Golput, dalam undang undang itu jelas, bahwa setiap individu di jamin kebebasannya dalam memilih atau tidak, dan yang kedua alasan saya jelas bukan karena mau menyembunyikan ketakutan!”
“Hahaha bro Nero, sepertinya Umbu mulai serius ni hahahha...”
“Iya bung.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut, apalagi melihat mereka berdua yang merasa menang karena berhasil memaksaku keluar dari persembunyian alam pikirku. Ku ambil lagi sebatang rokok kretek, membakarnya dan mulai menumpahkan isi kepalaku.
“Begini kawan, terserah kawan-kawan mau menilai apa pendapat saya, asumsi atau tidak, tapi saya mencoba membangun alur berpikir, sehingga tuntas kita beretorika dan berdinamika, coba lihat satu tahun belakangan, iklim politik di daerah ini, sangat tidak sehat! Masyarakat yang merasakan dampaknya, terbagi menjadi dua bagian yang pertama masyarakat yang aktif ingin terlibat dalam proses politik namun kebablasan dengan tidak memperhatikan etika-etika politik, yang kedua masyarakat yang sangat pasif terhadap proses politik ataupun demokrasi yang berimbas pada money politic, yah mereka menganggap mau berapa kali pemilu tidak mungkin ada perubahan”.
“Tunggu bung, saya rasa jangan di generalisir seperti itu.”
“ Ini memang terjadi, tak usah jauh jauh coba liat perdebatan di Sosmed , sangat jauh dari etika. Hanya karena menganggap beda pilihan. adalah musuh!”
“Tetapi pengguna Internet kan beberapa orang saja bung”
“Iya tapi kalau penggunanya sepuluh persen dari jumlah penduduknya, banyak juga kan”
Arlan yang hanya menyimak mengisyaratkan sesuatu.
“Kenapa lagi?”
“Bagi rokoknya bro.” katanya sambil mengaruk-garuk kepalanya.
Aku tersenyum dan melemparkan bungkusan rokok pada Arlan. Setelah membakar rokoknya Arlan siap siap angkat-angkat bicara. Aku dan Nero cuma bisa tersenyum.
“Hmmm... tapi bukan berarti Golput bro, dinamika politik itu hal yang wajar kan?” ujar Arlan sambil mengarahkan tangannya ke gelas kopi milikku.
“Hush, kalau mau minum kopi, bikin sendiri, jangan mental pejabat begitu hahahhah” Arlan langsung cemberut ketika aku menarik gelas kopi, karna tak tahan, Arlan akhirnya harus ke belakang dan membuat kopinya sendiri.
“Bung kalau kita mengganti pemimpin baru maka akan muncul program baru lagi, dan ini butuh energi dan anggaran baru lagi!”
“Tapi..”
“Wow... belum tentu bro.” tiba-tiba Arlan sudah menyela pembicaraanku
“Gini bro, pemimpin yang baru jelas punya analisa tentang program mana yang lanjut mana yang di hentikan.”
“Arlan, Nero, kalian harusnya melihat bahwa pesta demokrasi bukan satu rangkaian insidental, namun harus di lihat secara keseluruhan, iklim politik lokal hari ini sangat tidak sehat dan tidak ber-etika, coba lihat perdebatan yang terjadi di luar lingkaran kita, hanya makian yang ada, siapa yang di untungkan dengan keadaan ini? Yang di untungkan adalah partai politik dan para elit!”
Arlan lalu membenarkan letak kusinya dan berusaha menyimak dengan baik apa yang ku katakan, berbeda dengan Nero yang hanya menggeleng-mengeleng.
“Itu hanya asumsi belaka, wajar dinamika mucul dalam politik lokal!” balas Nero
“Hmm... analisa tidak selalu membutuhkan angka, bisa saja dari pengamatan, kesimpulan dari keadaan ini adalah, ketika dinamika politik memanas, partai di untungkan karena merasa mereka telah berhasil melakukan pendidikan politik lokal di tingkat grass root.”
“Untuk bagian ini saya sepakat dengan mas bro, sejujurnya sebelum musim pemilu, partai tidak pernah melakukan apa-apa.” ujar Arlan
“Sepakat! Kalau memang mereka pernah melakukan pendidikan politik, tidak mungkin kualitas perdebatan tentang calon kepala daerah, hanya sebatas kampanye hitam dan makian! Kampanye hitam dan makian hanya menjelaskan ketidakdewasaan politik masyarakatnya, dan siapa yang berhak di salahkan, jelas partai politik!” suaraku semakin bersemangat
“Itulah dinamika politik bung!” balas Nero ketus
“Jangan bersembunyi dalam bahasa dinamika politik bro, hahahha.. Makanya pilihan yang paling sehat adalah berganti pemimpin!”
“Maaf Arlan, saya secara pribadi tidak mengaminkan itu, tapi semua kembali ke hati nurani, menurut saya ketika proses di Parpol mandek, maka calon yang di tawarkan juga harus di pertanyakan. Coba lihat hari ini kita cuma memiliki dua calon yang dimana mereka adalah bupati dan wakilnya, jadi artinya mereka adalah bagian dari pemerintahan yang harus bertanggungjawab pada kebobrokan hari ini, bukankah slama ini, suara-suara perlawanan yang kita teriakan adalah bentuk perlawanan terhadap kedua orang ini, tapi sayangnya kita telah menjadi alat dalam permainan politik daerah ini, dengan menjadi antek-antek politik mereka”
“Mungkin bro ada benarnya tapi, saya rasa itu jauh lebih baik daripada tidak memilih alias Golput!”
“Sepakat bung! Seburuk-buruknya mereka tetap ada yang terbaik dan saya memilih pemimpin lama untuk melanjutkan!”
“Testimoni politik mas bro hahhaha..” tawa Arlan seakan-akan mengejek pilhan Nero
“Terserah! Intinya kita harus terlibat permainan politik hari ini!” balas Nero sengit
“Mantap mas bro.”
Tiba tiba diskusi kami di kagetkan oleh deringan ponselku, di ikuti suara klakson mobil di luar kantor, ketika melihat mobil siapa yang datang aku segera mengambil beberapa dokumen dan memasukan ke ranselku dengan tergesa-gesa dan bergegas pergi.
“ Arlan Nero sori saya kabur duluan, ingan pesan saya kita adalah antek-antek politik hari ini”
Nero hanya mengeleng dan Arlan tertawa terbahak bahak, ketika melihat siapa yang menjemputku, yaitu salah satu politisi kawakan dan iring-iringan mobil Tim sukses salah satu calon Bupati.

Waingapu, September,2015

Komentar