Nasib memilukan tanah pesisir di Sumba


Dalam tiga tahun terakhir, perkembangan Sumba terutama pariwisata sedemikian pesatnya,  di awali dengan “travel” menjadi gaya hidup dimana daerah timur indonesia menjadi favorit, serta bias dari film Pendekar Tongkat Emaspun telah menjadi salah satu penyebab berubahnya wajah pariwisata Sumba. Para wisatawan yang dahulunya didominasi oleh wisatawan asing, tiba-tiba dalam sekejap di dominasi wisatawan domestik (dalam negri), orang lokal (Sumba) tak ketinggalan menjadi traveller lokal yang berlomba mengunjungi daerah-daerah wisata baik yang sudah terkenal maupun yang belum. Dari berbagai lokasi yang di jadikan daerah kunjungan, daerah pesisir (pantai) sudah barang tentu menjadi destinasi yang paling diburu para penikmat wisata.

Salah satu dampak dari perkembangan itu adalah tanah di wilayah pesisir, harga tanah melonjak dengan membabi-buta, coba liat harga tanah di wilayah Sumba Timur khususnya dari wilayah Luanda Limma hingga Puru kambera, tidak ketinggalan juga harga tanah wilayah pesisir di Walakiri hingga Wera, semua melonjak dengan derasnya, ini jelas dikarenakan mulai masuknya dengan investor-investor dari luar Sumba yang tidak tanggung-tanggung sangat berani membeli tanah dengan harga yang tinggi, apalagi di wilayah selatan khususnya Tarimbang, harga ratusan juta hingga milyaran adalah harga yang wajar untuk sebidang tanah di wilayah pesisir.

Sekitar lima sampai sepuluh tahun kebelakang, tanah pesisir biasanya di kuasai oleh investor-investor lokal, namun hari ini investor-investor lokal mulai tergeser dengan “kegilaan” para pemburu dari luar, wilayah pantai Utara kini sudah di dominasi oleh investor yang tentunya sudah kita lihat papan nama yang begitu sombong menunjukan kuasanya, di wilayah Timur di kuasai oleh individu-individu dari kota besar yang menguasai berhektar-hektar wilayah pesisir dan di wilayah Selatan di kuasai oleh para orang asing.

Harga tanah yang melonjak tentunya sangat menarik bagi orang-orang desa pemilik tanah di wilayah pesisir, tanah di Sumba yang biasanya dimiliki secara bersama, dimiliki oleh kabihu (clan) tentunya menciptakan benih-benih konflik bila di jual demi kepentingan perseorang, sudah bukan menjadi rahasia, dibeberpa titik diwilayah pesisir, konflik-konflik kecil terkait kepemilikan tanah sudah muncul dan ini diperparah dengan kesewenangan para investor yang melakukan privatisasi pantai, buktinya, kita hari ini mulai kesulitan untuk mengakses beberpa pantai, baik karena larangan dari pemilik atau dikarenakan sudah di pagari dengan dinding batu.

Penjualan tanah pesisir jelas mempengaruhi jumlah uang yang berputar di desa, masyarkat desa atau pemilik tanah tentunya sedikit lupa  bahwa semenjak dahulu para leluhur telah mengharamkan penjualan tanah terutama tanah warisan, entah dengan alasan materi. Bagi yang melakukan pelanggaran tidak akan menemukan kebahagiaan sejati seperti dalam ungkapan “Paka tappa wangunya”, hidup sudah sempit dan tidak panjang lagi yang artinya akan ada akibat yang berkelanjutan bagi diri dan keturunannya.

Singkat kata dengan semua keadaan ini masyarkat pesisir telah mengalami perubahan sejengkal demi sejengkal, dimana sejengkal yang di jualnya adalah harapan bagi generasi mendatang, sejengkal itu hanya demi memuaskan kepentingan-kepentingan komsumtif seperti membeli motor , handphone baru atau barang-barang mewah seperti yang sering mereka tonton di televisi.

Pada akhirnya tanah pesisir di sumba ibarat suatu garis nasib yang memilukan, menjadi lahan favorit bagi destinasi wisata, dan menjadi kebangaan, sayangnya kebanggaan-kebanggaan itu hanya kebangaan yang semu, sebatas dunia maya, karena tanah itu bukan milik mereka ataupun kita, anak-anak yang dilahirkan dari langit yang sama di tana humba.

Waingapu, 2016

Komentar