Dari Kanggoa hingga On The Rock

“orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramodya Ananta Toer)


Sudah hampir setahun saya tidak menulis lagi di Blog, alasannya sederhana, bisa jadi karena blog agak sedikit lebih ribet memasukan tulisan di banding facebook, tetapi akhirnya hasrat itu datang juga di antara kopi dan donat di sore hari ini.

Tulisan ringan kali ini, lebih bercerita tentang salah satu mantan anak binaan saya di Komunitas Ana humba (AH Community), nama lengkapnya Milia Dwiputri Manu, yang lahir di Kanggoa, 18 tahun lalu, panggilannya Milia tetapi saya lebih suka memanggilnya kucing, kenapa kucing nanti baru saya jelaskan, andaikata ingat.

Milia saya kenal sebenarnya sudah cukup lama sekitar tahun 2015, ketika itu dia tiba-tiba tertarik terlibat dalam satu workshop Cerpen di Waingapu, namun setelah itu tidak pernah ada lagi kabar berita, padahal saat itu saya merasa dia bibit yang cukup menjanjikan dan sekitar tahun 2016 Milia mulai terlibat lagi dengan AH.

Seingat saya sekitar Desember tahun lalu (2016) ketika AH terlibat dalam Photovoice Sumba, Milia mendapat tugas untuk membuat dan membawa puisi, namun ketika melihat pertama kali puisi yang Milia buat, jujur saya cukup kecewa, karena tidak sesuai standar yang saya miliki.

Berangkat dari pribadi yang merasa tidak memiliki talenta, dan sedikit malas untuk hal-hal yang berbau sekolah, ini anak nona cukup tekun urusan puisi, setelah berulang-ulang kali, belajar dan diskusi (dengan cara yang sulit di terima banyak orang) akhirnya Milia bisa juga mencipta puisi yang sesuai standar usianya, kuncinya sederhana, diskusi, baca dan berlatih. Buku-buku pernyair nasional seperti Aan Mansyur dan kawan-kawannya menjadi bahan untuk memperkuat bahan puisinya.

Setelah beberapa bulan pengakuan akhirnya muncul dari saya, Diana Timoria, Hans Hayon dan beberapa penulis muda di NTT, dan yang paling menggembirakan adalah pengakuan dari seorang Frans W. Hebi seorang Wartawan, Sastrawan dan Budayawan yang sangat senior di pulau Sumba, beberapa puisi milik Milia akhirnya di ulas di Bengkel Bahasa Max FM Waingapu. Menurut Frans W. Hebi, Milia adalah talenta yang sangat jarang di miliki Sumba, dengan usia sangat muda sudah sangat fasih menulis puisi prismatis.

Milia kini sudah menjadi bagian dari Alumni AH, ia sudah berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Cendana, harapannya ia akhirnya menjadi salah satu pengacara yang mampu hadi untuk orang-orang marginal, seperti cita-cita di AH Community. Puisi masih menjadi bagian dari aktivitasnya, walau ia sekarang lebih sering menjadi pembaca puisi, setelah beberapa kali baca puisi di kampus, yang terakhir kemarin tanggal 30 September 2017, ketika orang lagi diributkan oelh hiruk-pikuk isu komunis. Milia di undang oleh komunitas Saint Egedia, untuk membaca puisi di acara Doa dan Dialog damai, bertempat di On The Rock Hotel – Kupang.

Rindu
Karya : MDP

Denyut gerimis luruh, meninggalkan gundah di atas tanah
Mungkin ia telah dikubur
Atau ia terpenjara di antara dedaun gigil, kelopak suntuk, atau aroma gugur
Bahkan ia sendiri pun gugur
Dari tepi ruang tua, ada tubuh yang lebur dalam bayang asmara menyimpan secangkir peluk, erat
Mengalir kata-kata tak bertuan, meminta nyawa pasangnya tumbuh menyatu tanpa syarat

Waktu hadir membelah rasa dan asa, menyimak pekat kebisuan dalam akhir jumpa
Aku terkapar mengingatmu
Mengingatmu dan dan memutuskan ini adalah rindu

Aku menjadi jilat, menginginkanmu tertitip hingga menutup mata, bersamaku
Tak pernah mati kolong bintang menyerahkan nafasmu untuk dinikmati hayal
Lembaran jiwaku mekar saat akan memanggilmu kembali

Pada senja namamu disulam jadi doa suci, ku mohon bangkitlah

Rindu ini bukan tentang pemakaman kenangan yang akan berakhir atau secangkir kopi yang dapat disuguhkan siapa saja
Rindu ini tentang kau dan aku, hujan dan secangkir kopi, senja dan bintang dalam kalimat ke paris

Rindu adalah baling-baling kecil yang melayang mencari kabar dan kata yang berdiam dalam bibi
Rindu yang mungkin menjadi keharusan di telapak tangan kita

Matawai, 01 Maret 2017

Komentar