Stop Planknisasi Sandelwood mari beralih ke Hutan Bakau


Sekitar akhir bulan September kemarin saya kebetulan lagi berada di Kupang untuk urusan kerjaan. Bukan hal yang aneh kalau berpergian keluar Sumba disempatkan dengan mengunjungi beberapa lokasi wisata di kota Kupang. Pantai Lasiana, pantai Tedis, Pantai Oesapa maupun Taman Nostalgia adalah beberapa spot favorit bagi kids jaman now di kota Kupang atau yang lagi berkunjung ke kota yang biasa dijuluki Kota Karang. Selain tempat-tempat tadi ternyata masih ada lokasi baru yang katanya lagi hits di kota Kupang yaitu hutan bakau.

Berlokasi di Oesapa Barat dan masih berada di dalam lingkar Kota Kupang, menjadikan lokasi hutan bakau mudah di akses, selain karena Kupang sudah cukup transportasinya, Google Maps Kota Kupang sudah cukup membantu untuk menemukan lokasi hutan bakau. Dari katakteristik ekowisata hutan bakau di Kupang hampir sama dengan beberapa tempat lainnya di Indonesia, dengan membuat jembatan menggunakan bahan kayu, dengan jalur yang berkelok-kelok mamupun lurus, serta beberapa pondok dengan bentuk-bentuk yang lucu, dimana salah satunya menyerupai perahu.

Saya tidak akan bercerita banyak tentang hutan bakau di Kupang, karena untuk lokasi wisata, hutan bakau sudah cukup banyak, salah satunya di Denpasar yang sudah cukup lama menjadikan hutan bakau salah satu destinasi wisatanya. Tetapi menurut saya hutan bakau di Kupang bisa menjadi pemantik bagi pengembangan ekowisata di Nusa Tenggara Timur.

Hutan Bakau di Sumba Timur

Mari kita kembali ke Sumba khususnya Sumba Timur yang perkembangan wisatanya lagi menjadi incaran turis domestik, salah satu lokasi wisatanya yang menjadi target para wisatawan adalah Pantai Walakiri yang terkenal dengan deretan bakau yang sangat khas, sehingga seringkali dikatakan bakau di Walakiri terlihat seperti sedang menari, karena bila diperhatikan dengan seksama, bentuk bakau di pantai ini berbeda dengan bakau pada umumnya. Sayangnya jumlah bakau yang menari dan menyendiri jumlahnya semakin sedikit, bisa jadi dikarenakan prilaku tidak terpuji dari para pengunjung yang terkadang memanjat pohon bakau atau menggantung Hammock, sejenis peralatan perang  yang lagi hits dalam pertempuran dunia selfie di jagat sosial media.

Selain pesona bakau yang menari sesungguhnya Sumba Timur masih memiliki potensi lain yang berkaitan dengan bakau. Bila mengacu pada hutan bakau di Kupang, maka menjadikan potensi bakau yang ada menjadi salah satu spot ekowisata adalah salah satu opsi dalam menambah pilihan wisata di Sumba Timur. Wilayah bakau di arah menuju Luanda Limma atau ke arah Kawangu dan beberapa lokasi di arah Timur pulau Sumba cukup kaya dengan potensi hutan bakau.

Stop Planknisasi

Terus bagaimana biayanya? Biaya untuk membangun ini menurut saya tidak terlalu mahal bila dibandingkan dengan rencana mebangun planknisasi di wilayah Palindi Tana Bara (Gunung Meja). Pemerintah Kabupaten Sumba Timur bisa bekerja sama dengan desa setempat untuk  menata lokasi wisata hutan bakau, dengan sistem membagi keuntungan, sehingga tidak hanya bertujuan sebagai destinasi wisata tetapi mampu juga menciptakan lingkungan binaan yang akhirnya bermamfaat dan terukur, bila dikelola oleh desa dengan sistem manajemen yang baik.

Sedangkan anggaran untuk Planknisasi kita bisa prediksi secara singkat. Tentunya membutuhkan anggaran yang cukup besar, apalagi bila mengacu pada desain Planknisasi Sandelwood yang beredar di dunia maya beberapa waktu lalu. Mulai dari lelang, pengadaan, membangun konstruksi, hingga finishing tentunya membutuhkan anggara yang tidak sedikit. Dengan investasi anggaran yang begitu besar sudah tentu planknisasi tidak akan dikelola oleh desa, bisa jadi langsung diambil alih oleh pemerintah daerah sehingga sangat kurang berdampak bagi masyarakat desa.

Singkat kata, opsi membangun pariwisata bisa dilakukan sekreatif mungkin dengan optimalisasi anggaran yang tepat guna.

Stop Planknisasi di Sumba!!

Komentar