2019 ; Catatan Pelarian Ke Kupang


Kupang, sudah hampir dua minggu saya terjebak disini. Jauh dari Waingapu, jauh dari aktivitas-aktivitas ngumpul di Waingapu, jauh dari obrolan politik. Perjalanan ke Kupang kali ini termasuk yang terlama setelah 2010. Namun hal yang sama dari perjalanan kali ini adalah sama-sama tanpa rencana, dari awalnya hanya sebatas menuntaskan urusan pribadi, namun akhirnya membias kemana-mana. Terlepas saya masih punya rencana aktivitas di Waingapu, seperti Pojok Baca AH Community dan Relawan Pendidikan, sesampai di Kupang semakin banyak ide-ide liar yang muncul.

Salah satunya ketika mengikuti Pasar Katemak kedua. Bagi saya yang di Waingapu, Pasar katemak tentunya cukup asing, namun berbeda dengan kawan-kawan yang “bergerak” di kota provinsi. Saya sempat hadir di hari pertama Pasar Katemak II, dimana banyak komunitas yang terlibat sambil menawarkan “hasil karya” masing-masing. Jadi sederhananya Pasar katemak adalah tawaran baru ketika Pasar Modern mulai menjamur.

Saya sempat mampir di stand milik Dicky Senda, pemilik Lakoat Kujawas. Dicky menawarkan beberapa hasil olahan, diantara wine pisang dan lakoat, sayangnya produk ini menjadi favorit jadi saya tidak sempat kebagian. Selanjutnya saya mampir disalah satu stand miliknya ka Eccy yang menawarkan “Sopi”. Sopi yang ditawarkan dengan campuran yang berbeda. Sekedar informasi  Sopi merupakan jenis minuman lokal pulau Timor dan Rote, ditangan ka Eccy, Sopi Kepala diracik dengan cara menambahkan beberapa buah seperti leci dan jeruk nipis, adapun yang dicampurkan dengan Susu. Setelah menegak satu sloki, rasa sopi yang biasanya cukup mengernyitkan dahi, hilang  dan berganti rasa yang jauh lebih bisa diterima, artinya yang bukan peminum pun pastinya bisa menegak ini, tapi jangan banyak bos, namanya juga minuman keras, ujung-ujungnya memabukkan kalau berlebihan.


Suasana Pasar Katemak II

Kembali ke alur kedatangannya saya ke Kupang, Awalnya saya tinggal di Alak di Asrama PolAir, namun sempat pindah ke Oesapa, di kost-kostan milik sahabat saya Erwin Dika, namun Akhirnya memilih ditengah, yakni di kator Walhi NTT di sekitaran daerah Walikota.

Menetap disini (Kantor Walhi NTT) akhirnya mempertemukan saya dengan beberapa orang yang mempengaruhi liarnya imajinasi. Awalnya saya sempat bertemu dengan beberapa orang seperti Dom dan Rivai yang menetap di Kantor Walhi NTT, ada juga Ardy Milk salah satu pegiat di IRGSC yang merupakan lembaga Pnelitian yang eksis di NTT. Dengan Ardy , ia banyak menceritakan tentang kondisi pendidikan di Sumba Timur, hampir sama dengan kenyataan yang sering kita dapati di lapangan, sayangnya bila saya ceritakan disini, akan menghabiskan waktu pembaca, mungkin di tulisan mendatang, akan saya simpulkan hasil diskusi kami, namun yang pasti ketimpangan pendidikan telah terjadi di Sumba Timur.

Saya juga bertemu dengan beberapa teman Efryn Tanouf dan Felix Nesi yang merupakan penggiat di Komunitas Leko dan Toko Buku Fanu. Selama ini saya mengenal mereka berdua, hanya sebatas karena sama-sama suka menulis, tidak sempat memiliki waktu untuk mengobrolkan banyak hal, berbeda dengan perjalanan kali ini, saya sempat bercerita panjang tentang geliat sastra NTT bersama Efryn dimana salah satunya menyayangkan kurangnya geliat Kantor Bahasa NTT semenjak berganti kepemimpinan, sampai pada munculnya beberapa penulis muda yang potensial. Sedangkan dengan pria pembunuh sepi (felix Nesi) saat obrolan pertama kami, saya langsung dihadiahi satu buku kumpulan cerpen, “Kode Etik Laki-Laki Simpanan”, buku yang diperuntukan bagi usia 18 tahun keatas dan diterbitkan oleh Toko Buku Fanu, menurut saya adalah kejutan, ketika selama ini saya membaca fiksi vulgar dengan pendekatan yang serius, tetapi berbeda dengan buku ini, sangat ringan dan segar, bagi saya ini tawaran baru dalam jagat dunia persilatan literasi di NTT, intinya ibuku ini salah satu buku yang sangat bagus dan saya merekomendasikan untuk membacanya.

Di kantor Walhi NTT, saya mendapat suguhan baruh teh ungu, yang berbahan bunga Telang, bunga yang berwarna ungu, menurut Rivai (Ketua Sahabat Alam) memiliki khasiat untuk kesehatan, tapi yang pasti saya lebih tertarik pada warna ungu yang dikolaborasi dengan jeruk nipis, dibanding dengan khasiatnya, karena selama ini saya hanya menikmati teh yang selalu berwarna coklat tua. Saya pastikan saya akan mencoba menanamnya di Waingapu, cocok ditawarkan ke teman-teman, bayangan saya bila jadi pojok baca milik AH community, para pembaca bisa menikmati nikmatnya teh bunga Telang dan teh Kelor racikan saya tentunya. Oopss.

Masih banyak sebenarnya yang ingin saya ceritakan, namun tulisan yang awalnya hanya akan dijadikan status, sudah cukup panjang. Diantaranya saya ingin kembali dan magang disalah satu lembaga di kota ini, tentang kejutan ketika masuk di perpustakaan Eltari di kantor IRGSC, perkenalan dengan Om paul, cafe di pantai oesapa, sekolah ekologi Walhi NTT, pertama kali masuk Transmart atau Kedai Buku Kupang milik sahabat saya dari kecil, Lekke (Lexy Pandang), namun dari kesemuanya itu saya lebih memilih bercerita tentang salah satu pantai di Kabupaten kupang. Nama pantainya Sulamanda.

Menikmati teh Bunga Telang

Dalam pertapaan atau pelarian saya kali ini ke Kupang, saya selalu ditemani sama Milia, saya tidak perlu jelaskan siapa dia, pastinya sudah banyak yang mengetahuinya. Dari berbagai spot yang kita singgahi, salah satu spot adalah pantai Sulamanda (sudah lama menanti anda), dengan branding seperti ini tentunya sudah mampu menarik pengunjung. Saya tidak akan membandingkan pantai ini dengan pantai di Sumba, tentunya sangat subjektif bila saya melakukan itu, tetapi yang menarik dari pantai ini karena dikelola oleh desa dalam bentuk Bumdes, setiap pengunjung ditarik biaya dua ribu rupiah, namun itu dikhususkan bagi pengunjung yang bukan warga desa setempat. Pantai ini hanya diberikan bebrapa ornamen untuk dijadikan spot photo, namun cukup menarik bagi pengunjung. Luasan pantai ini tidak seluas yang saya bayangkan namun cukup friendly dikarenakan cukup bersih dan para pedangang yang menawarkan kopi gampang diakses sehingga para pengunjung cukup dimanjakan, singkat kata pantai ini bisa dijadikan sebagai percontohan bagi desa-desa pesisir dalam mengelola potensi desanya.

Akhir kata, seperti kata-kata diawal tulisan ini, pelarian kali ini ke Kupang cukup berhasil, karena banyak pemicu-pemicu ide positif, salah satunya mendorong tumbuhnya komunitas-komunitas berkarya di kota Waingapu. Selain itu sehatnya mendekam dalam suasana jauh dari perbincangan politik. Pada akhirnya saya mengamini untuk menilai “rumah” kita perlu sesekali berdiri dari luar dan menikmatinya dengan cara kita sendiri. Kita bahagia.

Kupang, Awal Bulan Juli 2019


Komentar

Posting Komentar