ia sungguh berharap penduduk Parai Wunga --60 kilometer barat Waingapu-- Sumba Timur, NTT, bisa menjaga adat tradisi mereka. Dengan itu pula, pria asal Jepang ini, Prof Makoto Koike PhD, ingin menjadikan tradisi sebagai tujuan wisata para turis di Parai Wunga. ”Biar kehidupan ekonomi mereka juga bisa lebih baik,” katanya.
Kehidupan pria ini memang tak lepas dari Parai Wunga. Begitu ”dekatnya” dia dengan Parai Wunga, sampai Makoto Koike mendapat nama dari warga Wunga. Di daerah itu, antropolog ini dipanggil Umbu Haharu.
Pengetahuan Makoto tentang Parai Wunga tak beda dengan warga asli. Dengan lancar ia bercerita tentang pentingnya uma (rumah) untuk kehidupan ekonomi, politik, dan ritual masyakarat Sumba. Misalnya uma Marapu, rumah adat yang menjadi wahana di mana anggota kabihu (marga) melakukan berbagai kegiatan.
Ia juga ikut dalam sembahyang besar (mangajingu bakulu) di uma Ratu pada 1986. Uma Ratu adalah rumah yang sakral dan menjadi pusat segala kegiatan ritual. Upacara yang dilakukan empat tahun sekali itu melibatkan semua warga Wunga untuk mengukuhkan kembali ikatan sosial di antara mereka.
Seiring rusaknya bangunan uma Ratu, sejak tahun 1990 kegiatan ritual itu semakin berkurang, nyaris tak ada. Warga lalu melaksanakan sembahyang di rumah masing-masing. Namun, kondisi ini membuat kehidupan mereka seakan kehilangan ”jiwa”.
Untuk membangun kembali uma Ratu, dibutuhkan persiapan besar baik dari segi biaya maupun ritualnya. Makoto yang pernah tinggal di Desa Kadahangu untuk penelitian disertasinya pada Desember 1985-Februari 1986 tak bisa tinggal diam.
Sejak masa penelitian hingga kini, ia merasa menjadi bagian dari warga Wunga. Oleh karena itulah, meski penelitiannya telah selesai dan gelar doktor sudah diraih, setiap tahun sejak tahun 1991 Makoto tetap mengunjungi ”kampungnya”.
Ia biasa tinggal tiga-empat hari di Wunga. Dari tahun ke tahun, Makoto melihat suasana kampung itu semakin sepi. Bisa dikatakan hanya anak-anak dan orang tua yang tinggal, sedangkan mereka yang berusia produktif memilih tinggal di rumah kebun yang letaknya relatif jauh dari perkampungan.
Makoto prihatin, ia paham betul arti penting keberadaan uma bagi orang Wunga. Tiga tahun lalu, ia memutuskan mengumpulkan dana untuk membangun kembali uma Ratu agar ritual warga bisa kembali berlangsung.
”Ritual dan adat itu menjadi pengikat hubungan antar-individu. Parai Wunga yang seolah kehilangan ’jiwa’ akan kembali hidup,” katanya.
Kesempatan itu muncul saat dia diundang sebagai pembicara dalam sebuah seminar di Takenaka Carpentry Tools Museum (TCTM), Kobe, 22 Juni 2007. TCTM adalah lembaga yang peduli pada pelestarian budaya masyarakat. Lembaga ini bagian dari Takenaka Corp, satu dari lima perusahaan konstruksi besar di Jepang.
Pada seminar itu, Makoto memaparkan hasil penelitiannya di Wunga, termasuk keinginan membangun uma Ratu. Gayung bersambut, TCTM tengah mencari lokasi untuk pembangunan kembali rumah tradisional yang bakal dipamerkan di TCTM tahun 2010.
Rumah di Parai Wunga dibangun dengan cara tradisional, mulai dari pengumpulan bahan, tak menggunakan paku dan peralatan modern. Selain dari TCTM, Makoto juga mendapat bantuan dana dari tempatnya mengajar, Fakultas Studi Internasional dan Ilmu Budaya Universitas St Andrew di Osaka.
Maret 2008, dimulailah renovasi uma Makatemba, yang melibatkan Marcelo Muneo Nishiyama, ahli bidang peralatan tradisional dari TCTM. Ada pula Sato, ahli bangunan tradisional dari National Museum of Ethnology, Osaka.
Namun, saat hendak membangun uma Ratu, masalah muncul. Sebelum membangun uma Ratu, ia harus mendapat persetujuan dari tiga pihak yang berada di Kanatangu, Mamboru, dan Lewa, yang nenek moyangnya berasal dari Wunga.
Sambil menunggu persetujuan, sampai Oktober 2008 mereka membangun dua rumah lain, yakni uma Bakulu dan uma Rua.
Di rumah raja
Perkenalan Makoto dengan warga Wunga dimulai saat ia melakukan penelitian pada Desember 1985-Juni 1988. Sambil meneliti, ia sehari-hari juga hidup seperti layaknya orang Wunga. Ia memakai hinggi (kain Sumba) dan tera (ikat kepala).
Di tempat yang terletak sekitar 60 kilometer barat Waingapu itu, Makoto sesekali mengunyah happa (sirih pinang) sampai mulutnya berwarna merah seperti kebanyakan orang Sumba.
Sampai Februari 1986, ia tinggal di rumah seorang pendeta di Desa Kadahangu untuk mempelajari bahasa setempat. Ia tinggal di Wunga mulai Maret 1986, di rumah Umbu Tobu yang saat itu menjadi raja.
Fokus penelitian Makoto adalah mengungkap seberapa besar uma berperan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan ritual masyarakat setempat. Uma memiliki persamaan dengan ie (rumah, bahasa Jepang), yang punya peran penting guna memahami budaya dan masyarakat Jepang.
Maka, selama tinggal di Wunga, Makoto juga mengunyah happa, merokok lintingan daun, makan langsung dengan tangan, dan memakai hinggi.
”Saya sampai ikut-ikutan tahan tak mandi sampai seminggu, badan jadi gatal. Namun, memang di sini air adalah barang langka. Kami memerlukan waktu berjam-jam untuk pergi mengambil air,” ceritanya.
Umbu Tobu lalu mengangkatnya sebagai anak dan memberi Makoto nama Umbu Haharu. Haharu adalah tanjung yang berada di ujung utara Pulau Sumba, yang disebut juga Tanjung Sasar. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat mendaratnya nenek moyang orang Sumba.
Desember 1987, pada upacara penguburan Raja Tamu Umbunai Wulangu di Kampung Kapunduku, penampilan Makoto nyaris tak bisa dibedakan dari orang Sumba. Selain bertutur dalam bahasa Sumba, kulitnya pun lebih gelap, gigi dan bibirnya berwarna merah tua karena mengunyah happa. Makoto datang ke rumah duka bersama rombongan Raja Wunga.
Jumpa istri
Makoto bercerita tentang masa awalnya di Wunga. Setiap hari ia keluar rumah berbekal buku tebal untuk mencatat nama orang, marga, perannya dalam masyarakat, dan dengan siapa ia berhubungan. Ia berusaha merekonstruksi kehidupan sebuah masyarakat.
Pencatatan detail tentang budaya lisan Wunga yang ditulis Makoto kemudian membuat warga Wunga bisa ”menemukan kembali” sejarah mereka.
Sumba punya kisah yang manis baginya. Makoto berjumpa Naoko, gadis kelahiran Hiroshima yang lalu menjadi istrinya, justru saat Naoko menjadi turis di Sumba. Sebelumnya, Naoko pernah mengikuti program pertukaran pelajar dan belajar bahasa Indonesia di Universitas Hasanuddin, Makassar, dan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kehidupan pria ini memang tak lepas dari Parai Wunga. Begitu ”dekatnya” dia dengan Parai Wunga, sampai Makoto Koike mendapat nama dari warga Wunga. Di daerah itu, antropolog ini dipanggil Umbu Haharu.
Pengetahuan Makoto tentang Parai Wunga tak beda dengan warga asli. Dengan lancar ia bercerita tentang pentingnya uma (rumah) untuk kehidupan ekonomi, politik, dan ritual masyakarat Sumba. Misalnya uma Marapu, rumah adat yang menjadi wahana di mana anggota kabihu (marga) melakukan berbagai kegiatan.
Ia juga ikut dalam sembahyang besar (mangajingu bakulu) di uma Ratu pada 1986. Uma Ratu adalah rumah yang sakral dan menjadi pusat segala kegiatan ritual. Upacara yang dilakukan empat tahun sekali itu melibatkan semua warga Wunga untuk mengukuhkan kembali ikatan sosial di antara mereka.
Seiring rusaknya bangunan uma Ratu, sejak tahun 1990 kegiatan ritual itu semakin berkurang, nyaris tak ada. Warga lalu melaksanakan sembahyang di rumah masing-masing. Namun, kondisi ini membuat kehidupan mereka seakan kehilangan ”jiwa”.
Untuk membangun kembali uma Ratu, dibutuhkan persiapan besar baik dari segi biaya maupun ritualnya. Makoto yang pernah tinggal di Desa Kadahangu untuk penelitian disertasinya pada Desember 1985-Februari 1986 tak bisa tinggal diam.
Sejak masa penelitian hingga kini, ia merasa menjadi bagian dari warga Wunga. Oleh karena itulah, meski penelitiannya telah selesai dan gelar doktor sudah diraih, setiap tahun sejak tahun 1991 Makoto tetap mengunjungi ”kampungnya”.
Ia biasa tinggal tiga-empat hari di Wunga. Dari tahun ke tahun, Makoto melihat suasana kampung itu semakin sepi. Bisa dikatakan hanya anak-anak dan orang tua yang tinggal, sedangkan mereka yang berusia produktif memilih tinggal di rumah kebun yang letaknya relatif jauh dari perkampungan.
Makoto prihatin, ia paham betul arti penting keberadaan uma bagi orang Wunga. Tiga tahun lalu, ia memutuskan mengumpulkan dana untuk membangun kembali uma Ratu agar ritual warga bisa kembali berlangsung.
”Ritual dan adat itu menjadi pengikat hubungan antar-individu. Parai Wunga yang seolah kehilangan ’jiwa’ akan kembali hidup,” katanya.
Kesempatan itu muncul saat dia diundang sebagai pembicara dalam sebuah seminar di Takenaka Carpentry Tools Museum (TCTM), Kobe, 22 Juni 2007. TCTM adalah lembaga yang peduli pada pelestarian budaya masyarakat. Lembaga ini bagian dari Takenaka Corp, satu dari lima perusahaan konstruksi besar di Jepang.
Pada seminar itu, Makoto memaparkan hasil penelitiannya di Wunga, termasuk keinginan membangun uma Ratu. Gayung bersambut, TCTM tengah mencari lokasi untuk pembangunan kembali rumah tradisional yang bakal dipamerkan di TCTM tahun 2010.
Rumah di Parai Wunga dibangun dengan cara tradisional, mulai dari pengumpulan bahan, tak menggunakan paku dan peralatan modern. Selain dari TCTM, Makoto juga mendapat bantuan dana dari tempatnya mengajar, Fakultas Studi Internasional dan Ilmu Budaya Universitas St Andrew di Osaka.
Maret 2008, dimulailah renovasi uma Makatemba, yang melibatkan Marcelo Muneo Nishiyama, ahli bidang peralatan tradisional dari TCTM. Ada pula Sato, ahli bangunan tradisional dari National Museum of Ethnology, Osaka.
Namun, saat hendak membangun uma Ratu, masalah muncul. Sebelum membangun uma Ratu, ia harus mendapat persetujuan dari tiga pihak yang berada di Kanatangu, Mamboru, dan Lewa, yang nenek moyangnya berasal dari Wunga.
Sambil menunggu persetujuan, sampai Oktober 2008 mereka membangun dua rumah lain, yakni uma Bakulu dan uma Rua.
Di rumah raja
Perkenalan Makoto dengan warga Wunga dimulai saat ia melakukan penelitian pada Desember 1985-Juni 1988. Sambil meneliti, ia sehari-hari juga hidup seperti layaknya orang Wunga. Ia memakai hinggi (kain Sumba) dan tera (ikat kepala).
Di tempat yang terletak sekitar 60 kilometer barat Waingapu itu, Makoto sesekali mengunyah happa (sirih pinang) sampai mulutnya berwarna merah seperti kebanyakan orang Sumba.
Sampai Februari 1986, ia tinggal di rumah seorang pendeta di Desa Kadahangu untuk mempelajari bahasa setempat. Ia tinggal di Wunga mulai Maret 1986, di rumah Umbu Tobu yang saat itu menjadi raja.
Fokus penelitian Makoto adalah mengungkap seberapa besar uma berperan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan ritual masyarakat setempat. Uma memiliki persamaan dengan ie (rumah, bahasa Jepang), yang punya peran penting guna memahami budaya dan masyarakat Jepang.
Maka, selama tinggal di Wunga, Makoto juga mengunyah happa, merokok lintingan daun, makan langsung dengan tangan, dan memakai hinggi.
”Saya sampai ikut-ikutan tahan tak mandi sampai seminggu, badan jadi gatal. Namun, memang di sini air adalah barang langka. Kami memerlukan waktu berjam-jam untuk pergi mengambil air,” ceritanya.
Umbu Tobu lalu mengangkatnya sebagai anak dan memberi Makoto nama Umbu Haharu. Haharu adalah tanjung yang berada di ujung utara Pulau Sumba, yang disebut juga Tanjung Sasar. Lokasi ini dipercaya sebagai tempat mendaratnya nenek moyang orang Sumba.
Desember 1987, pada upacara penguburan Raja Tamu Umbunai Wulangu di Kampung Kapunduku, penampilan Makoto nyaris tak bisa dibedakan dari orang Sumba. Selain bertutur dalam bahasa Sumba, kulitnya pun lebih gelap, gigi dan bibirnya berwarna merah tua karena mengunyah happa. Makoto datang ke rumah duka bersama rombongan Raja Wunga.
Jumpa istri
Makoto bercerita tentang masa awalnya di Wunga. Setiap hari ia keluar rumah berbekal buku tebal untuk mencatat nama orang, marga, perannya dalam masyarakat, dan dengan siapa ia berhubungan. Ia berusaha merekonstruksi kehidupan sebuah masyarakat.
Pencatatan detail tentang budaya lisan Wunga yang ditulis Makoto kemudian membuat warga Wunga bisa ”menemukan kembali” sejarah mereka.
Sumba punya kisah yang manis baginya. Makoto berjumpa Naoko, gadis kelahiran Hiroshima yang lalu menjadi istrinya, justru saat Naoko menjadi turis di Sumba. Sebelumnya, Naoko pernah mengikuti program pertukaran pelajar dan belajar bahasa Indonesia di Universitas Hasanuddin, Makassar, dan Universitas Padjadjaran, Bandung.
sumber ; kompas.com
ooh ya..
BalasHapussaya pernah baca ni cerita dan sudah mendengar tentang orang ini sejak kuliah D3 dulu.
salut!
orang luar saja sangat menghargai Sumba,apalagi kita Ana Tana.
yang saya dengar terakhir dia ada project baru lagi di sumba timur, untuk renovasi beberapa kampung adat....
BalasHapusmemang salut dengan orang jepang yang satu ini hehehehh