A. Bentuk Uma Marapu
Bentuk Uma Marapu (Uma Ratu, Uma Andungu, Uma Ndewa, Uma Unggulu Kawuku, dan Uma Mitingu Kawuku) harus seragam. Bermenara (mbatangu) artinya selaku jembatan untuk mencapai dengan saluran kata-kata doa (uratungu)
tentang sejarah Uma Joka Awangu atau Uma Walu Nunggulu Uma Walu Maparu, istilah lain Mbata artinya patahan lantai teratas untuk kediaman Marapu. Badan rumah terdiri dari empat air yaitu dua air baina: induk, dua air anana: anak. Apabila sebuah rumah Marapu selesai dilakukan kebaktian pentahbisan (katua) dengan kurban berupa satu ekor anjing, satu ekor ayam jantan merah, dan satu ekor ayam betina putih untuk Marapu Bokulu. Pelaksanaannya: seorang Ratu duduk disisi anda uratungu (tiang ketuhanan) dan seorang Ratu menunggang (kaliti) bubungan menara rumah (mbatangu). Ratu yang duduk disisi andu uratungu (tiang ketuhanan) dengan suara nyaring mengatakan: itaya la enda la ndau, rubuku la mbali, la bakungu la pandangu, Malaka tana bara, Malaya hinduna, kabundu wara tana kajilaku turahui, tana mbida mau mundu bangga bila mau hanjata (uma joka awangu). Ratu yang duduk di bubungan menara harus menjawab dengan tegas dan nyaring: itaya (lihat), untuk menyatakan kepada generasi muda tentang sejarah perjalanan nenek moyang mereka. Kurban berupa kepala anjing tadi dipancang di depan pintu gerbang dengan mulutnya dingangakan (tukangaru ahu), agar malapetaka atau penyakit tidak mengenai paraingu tersebut.
tentang sejarah Uma Joka Awangu atau Uma Walu Nunggulu Uma Walu Maparu, istilah lain Mbata artinya patahan lantai teratas untuk kediaman Marapu. Badan rumah terdiri dari empat air yaitu dua air baina: induk, dua air anana: anak. Apabila sebuah rumah Marapu selesai dilakukan kebaktian pentahbisan (katua) dengan kurban berupa satu ekor anjing, satu ekor ayam jantan merah, dan satu ekor ayam betina putih untuk Marapu Bokulu. Pelaksanaannya: seorang Ratu duduk disisi anda uratungu (tiang ketuhanan) dan seorang Ratu menunggang (kaliti) bubungan menara rumah (mbatangu). Ratu yang duduk disisi andu uratungu (tiang ketuhanan) dengan suara nyaring mengatakan: itaya la enda la ndau, rubuku la mbali, la bakungu la pandangu, Malaka tana bara, Malaya hinduna, kabundu wara tana kajilaku turahui, tana mbida mau mundu bangga bila mau hanjata (uma joka awangu). Ratu yang duduk di bubungan menara harus menjawab dengan tegas dan nyaring: itaya (lihat), untuk menyatakan kepada generasi muda tentang sejarah perjalanan nenek moyang mereka. Kurban berupa kepala anjing tadi dipancang di depan pintu gerbang dengan mulutnya dingangakan (tukangaru ahu), agar malapetaka atau penyakit tidak mengenai paraingu tersebut.
Bentuk badan rumah kebun (uma woka) sama dengan yang lainnya tetapi tidak bermenara (mbatangu).
B. Ukuran Uma
Uma Andungu lebih besar ukurannya dari Uma Ratu atau Uma Ndewa. Balok lantai atas (loteng: hindi marapu) panjangnya empat meter, lebar tiga meter. Panjang balok tengah (tundu kabihu) adalah 6 x 8 m - 6 x 7 m. Panjang balok emper/teras (tiparuu) adalah 13 x 12 m 9 x 10 m.
C. Ramuan Uma
Balok pemikul (lataduku): dua batang panjang, dua batang lebar. Balok yang duduk (atas) (lamba liu): dua batang panjang, dua batang lebar. Jumlah empat batang panjang, empat batang lebar (keseluruhan delapan batang). Suatu angka delapan dari uma joka awang (rumah pencakar langit), delapan lantai. Balok tengah empat batang: dua panjang, dua lebar. Balok emper empat batang: dua panjang, dua lebar. Tiang nok (tulaku mbatangu) berjumlah dua batang.
Tiang utama (lundungu) berjumlah empat buah yaitu andu uratungu (tugu ketuhanan), andu luri andu meti (tugu kehidupan tugu kematian), andu uhu andu wataru (tugu kamakmuran), dan andu lii lalei lii mangoma (tugu kawin-mawin).
Tiang jejer tengah berjumlah 12 batang, tiang jejer emper berjumlah 20 batang, sehingga jumlah keseluruhan adalah 4 + 12 + 20 = 36 batang atau sama dengan 1 + 3 + 5 = 9. Tiang yang jumlahnya 36 adalah lambang dari 36 tiang agung (tandai lamanga) rakit raksasa (tina bokulu) yang mereka tumpang dari Malaka Tana Bara hingga Haharu Malai Kadanggu Lindi Watu (Tanjung Sasar). Untuk jiku (kamundu manu) berjumlah empat batang, dua batang untuk jiku menara (mbatangu). Usuk untuk induk (baina) terdiri atas dua batang rii baina dan dua usuk untuk anak (rii anana). Baik untuk jiku dan panjang lebarnya disebut urat nadi Uma Marapu (rii kalotu uma marapu). Tiang nok bagian timur merupakan lambang pria, sedang tiang nok bagian barat merupakan lambang wanita.
Untuk ramuan yang dipergunakan adalah kayu kelas satu Mayela Ana Ratu, Kunjuru Kanawa, dan Kiru Matamanu.
D. Ruang Uma (Kurunguna)
I. Loteng Besar (Hindi Bokulu)
Bentuknya sesuai bentuk balok yang dipikul oleh empat tiang utama. Lantainya merupakan tempat tinggal arwah leluhur yang belum diurapi, penyingkiran terakhir dari si mati. Bagi arwah leluhur yang sudah berada disisi Sang Pencipta (Mawula Tau) akan dijadikan tempat menginap bila datang menjenguk anak-cucunya dalam upacara kebaktian penting seperti Langu Paraingu, Pamangu Ndewa, Ngangu Uhu Kawunga, dan Wulu Uma Marapu. Kemudian sesudah terbentuk mata uang adat (mamuli, lulu mahu, kamdaku, tabilu, lamba, hda uma). Ungkapan Tanggu Marapu lambang tanda yang kelihatan untuk menyebut nama Marapu, bahkan suatu harta pengikat persatuan suku/marga/kabihu.
II. Ruang Dalam
Ruang dalamnya pada sebelah kanan jejeran tiang uratungu tiang andu luri andu meti dengan jejeran tiang tengah (tundu kabihu) di bawah balai besar (kaheli bokulu) khusus tempat duduk pria, tempat upacara kebaktian. Dan diantara tiang tengah dibuat balai duduk tamu pria (nggala bokulu). Satu pintu masuk dari muka dan satu pintu keluar-masuk kalau ke belakang (la ulu). Kedua pintu ini disebut pintu pria (pindu mini).
Pada sebelah kiri jejeran tiang andu uhu andu wataru dengan antara jejeran andu lii lei lii mangoma dibuat balai wanita (kaheli kawini), khusus tempat wanita menyiapkan makanan dan sesajian Marapu. Bahan makanan dan perabot rumah tangga disimpan di sini. Pintu masuk mereka satu buah dan satu buah pintu keluar ke halaman belakang (la ulu) disebut pindu kawini. Di antara jejeran tiang tengah dengan tiang emper dibuat balai kecil (kuru pangia) khusus tempat tidur yang sudah berumah tangga (suami-istri dari penghuni rumah Marapu).
Di antara pasangan jejeran andu uratangu dengan jejeran tiang andu lii lei mangoma dan antara tiang tengah bagian halaman muka dibuat kamar ukuran 2 x 2 m2. Ungkapan Kuru Hanamba atau kamar suci, di sini tempat menyimpan tempayan air (mblu marapu) dan tempat sesajian marapu (kaba mangejingu), juga tempat menyiapkan nasi untuk sesajian marapu (kalaja wingiru kalaja bara) yaitu nasi merah-putih oleh seorang istri yang sudah dikukuhkan dalam upacara adat (pama papa).
Di Sebelah kanan pintu masuk digantungkan sebuah loteng kecil ukuran 40 x 30 cm (hindi larangu), tempat sirih pinang untuk marapu (pahpa marapu) waktu adakan kebaktian besar atau penting (patua bokulu). Dibawahnya digantung tempat sirih orang-orang mati (kalumbutu kpu tau meti) yang belum disingkirkan ke sisi Sang Pencipta (Mawulu Tau) yaitu Palundungu atau Pahili Mbola.
III. Ruang Harapan (Bangga Hanamba)
a). Bangga Dita. Diantara jejeran tiang tengah dengan jejeran tiang emper dibuat balai harapan (bangga hanamba dita) tempat duduk dan menyambut tamu. Bagian kiri-kanannya ada kamar tidur tamu (nggala hanamba).
b). Bangga Wawa. Balai tingkat bawah (bangga kudu) khusus untuk wanita memberi makanan pada babi atau ayam marapu (wei ndewa manu ndewa).
c). Katoda Kawindu. Di sebelah kiri dari rumah pada halaman rumah marapu. Pada jarak dari balai bawah sekitar 3 m dipancang sebuah tugu terbuat dari teras kajiu (cemara) bentuk kepala manusia, disebut katoda kawindu (diberi Marapu Talora). Fungsinya sebagai marapu pemberi komunikasi antara marapu dari luar Arwah Leluhur yang sudah baerada di alam gaib (Parai Marapu) dengan manusia yang hidup dalam rumah (alam nyata), juga disebut sebagai piket antara tamu dari alam gaib dan tuan rumah di dalam rumah atau alam nyata. Jadi kalau ada kebaktian selalu diundang oleh Juru Doa (Ma-uratungu) untuk hadir di balai besar dekat tiang Andu Uratungu, ungkapannya pitiya na katoda kawindu (MbR: ngdaluya na katoda kawindu).
IV. Ruang Dapur Marapu (A Marapu)
Dapur Marapu berbentuk segi empat dan terletak di apitan keempat tiang utama (kambaniru lundungu). Balai penampung dapur ini diberi bingkai papan dan beralaskan pelepah pisang yang diberi tanah merah.
Di pusat dapur dipasang tiga buah tungku marapu. Tuluru Marapu dengan nama masing-masing: tuluru mini, tuluru baina, dan tuluru ana. Lambang ketiga fungsi pekerjaan Sang Pencipta (Mawulu Tau). Dan ada dua kelompok tungku untuk manusia hidup yaitu tungku yang terletak di sebelah kiri adalah tungku wanita untuk memasak makanan penghuni rumah disebut tuluru epi kawini. Dan tungku di sebelah kanan ialah tungku pria untuk masak daging (babi, ayam, kerbau) dalam upacara kebaktian tuluru epi mini.
V. Ruang Halaman Belakang (Bangga La Ulu atau Kiri Kaheli)
a). Bangga Dita (Balai Atas), untuk menyimpan bahan untuk keperluan sehari-hari tempat tempayan air minum (mbalu wai). Di kanannya dibuat kamar tidur untuk pemuda yang belum menikah (nggala la ulu).
b). Bangga Wawa, untuk tempat duduk wanita waktu tumbuk padi, membersihkan beras, dan titi jagung untuk bahan makanan. Tempat tersebut juga digunakan sebagai tempat duduk wanita ketika memberi makanan pada babi dan ayam, terkadang sebagai tempat santai sambil bercerita dan mencari kutu rambut.
c). Di antara tiang Andu Luri Andu Meti dan tiang Andu Uhu atau Wataru dibuat sebuah kamar bersalin (kuru padarangu) yaitu dekat api tungku dapur supaya ibu yang telah melahirkan mendiangkan pinggang/pinggulnya.
VI. Uma Eri atau Uma Uhu (Rumah Lumbung Pangan)
Bentuk rumah lumbung pangan yang disebut Uma Eri seperti periuk nasi. Ramuannya adalah empat batang balok berukuran 5 x 4 m (5 + 4 = 9), tidak bertiang nok (lundungu). Empat batang tingginya 4 m dan diberi cincin yang disebut ndolu agar tikus jangan masuk dan berpintu segi empat. Asapnya ada dari ijuk enau, daun lontar, daun gewang (yang sukar terbakar dan cepat membusuk), dan juga dari alang-alang.
Sebuah tangga tingginya 3,5 meter mempunyai anak tangga (wua panongu) 8 sampai 12 buah. Pada bulan Juli (Wula Paita) diadakan kebaktian penyimpanan bahan makanan (wula papaita pangangu; bulan melahirkan makanan). Bahan makanan padi dan hasil palawija lainnya persiapan bibit persiapan bahan makanan untuk bulan paceklik (Desember Februari) tiap tahun. Walau sudah disimpan di Uma Eri, pintunya dikunci atau tangganya disimpan di Uma Marapu. Bahan makanan di lumbung tidak boleh diganggu gugat walau kesulitan apapun yang terjadi dalam hidup manusia. Pada bulan Desember diadakan kebaktian Pakba (untuk tawarkan isi gudang; menghilangkan pahitnya). Bibit-bibit diambil untuk dijemur (paitanja lodu), artinya bibit diberi kesempatan untuk melihat matahari untuk tanam dan bahan makanan untuk hidup diatur pemakaiannya hingga panenan baru tiba, jagung 4-8 bulir, dan padi satu kebat mayang digantung pada balok nok rumah kebun (uma woka). Kalau sudah masuk panen baru, diberikan untuk ayam dan babi agar berkembang biak.
VII. Uma Nda Pataungu (Rumah Marapu Tak Berorang)
Ungkapan Uma Nda Pataungu (Sumba Timur: Uma Kealangu Kaheli Kealangu Panongu Ndapakealangu) yaitu suatu lambang peringatan kaul Budha yang mereka lalui oleh leluhur suku bangsa Sumba di Malaya La Hindiwara. Ramuannya empat tiang usuk 8 batang, atapnya dari daun kelapa atau daun palem (ruu wola). Dalam rumah ini disimpan sebuah tempayan (mbalu marapu nda-pataungu), yang menganut kepercayaan ini Kabihu Tabundungu, suku/kabihu Palai Malamba (Melolo), suku/kabihu Mru (Mangili) dan kabihu Pda (Lewa).
Kalau keadaan curah hujan tidak lancar/lambat maka suku/marga/kabihu yang menganut aliran ini mengadakan kebaktian Hei La Uma Nda Pataungu (naik ke rumah tak berorang) melalui undi dipilih seorang untuk membawa periuk (lunggu mbalu) yang diisi air sungai dengan upacara kebaktian yang diikuti oleh seluruh petani di wilayah itu. Kurban satu ekor kerbau hadiah seorang kaya, sedang setiap petani masing-masing satu ekor ayam (kawdaku) untuk minta air hujan. Air yang ada dalam tempayan tadi (lunggu mblu) dituang dalam periuk yang terletak di rumah Nda Pataungu (tak berorang) di atas dengan tujuh lapis daun pisang hutan (kaluu humbulu), pantat periuk berlubang bintik-bintik (pamata kapdihungu). Kalau air tidak keluar berarti kebaktian diterima oleh Marapu (Umbu Ndilu Kmbangu dan Rmbu Kahi Ruu Kaluu), dan hujan akan turun baik. Sebaliknya kalau bocor meniris maka curah hujan akan buruk.
Gunung-gunung berhutan disebut Palindi Waiurangu (gunung air hujan). Hutan-hutan disebut Ruu Lunggi Tana (rambut tanah).
VIII. Uma Woka (Rumah Kebun)
Bentuknya tak bermenara (mbatangu) atau uma kamudungu. Jumlah balok dan tiangnya 36 batang. Ruang dalam, ruang muka, dan ruang belakang sama persis dengan rumah Marapu (Uma Ratu/Uma Lundungu). Di rumah ini tidak boleh dilakukan kebaktian penting atau kebaktian besar (bokulu), hanya kebaktian kecil (habarangu). Lambang harta Marapu hanya berupa duplikat: satu buah mamuli kawdaku potongan mas perak (kahobi). Rumah khusu untuk jaga kebun atau menampung bahan pangan keperluan sehari-hari.
IX. Uma Mbuka (Rumah Penyakit Menular atau Menahun)
Bentuk rumah ini hanya dua air (kadau mbapangu), atapnya dari daun kelapa atau alang-alang berbalai, dinding keliling, pintu hanya satu. Jarak dari rumah kediaman 20 m 50 m. Di bawah pohon rindang atau di bawah tebing karang rumah ini khusus untuk orang-orang Paharu-Mahamiwa Uta Kaba A Parai Marapu, Penetangu Lawai, Lbungu, Kula Matamanu Hau Mata Eti Lulu Ndilu La Patamawai. Puncak tertinggi: Paberi Wai La Ndeaha Kahangga Wai La Pau gunung pembagi air sungai. Kusta suami-istri, tikar dan daun lontar, tempat makan mereka dari tempurung kelapa dan diatur oleh seorang wanita dari keluarganya untuk menyiapkan dan mengantarkan makanan, waktu memindahkan makanan tersebut ke tempat makan mereka harus berjarak 30 m. Di larang mandi di sungai atau mata air yang mangalir dan yang dapat diminum oleh orang. Apabila meninggal dunia, mayat diangkat dari rumah ini (Uma Mbuka). Tikar dan tempurung tempat makan dikubur bersama-sama di atas mayat oleh keluarganya, bersama sepotong rotan atau daun lontar agar penyakit menular ini (kusta) jangan menular atau berjangkit secara turun-temurun. Rumah (Uma Mbuka) tempat si mati dibakar.
Menurut aliran kepercayaan Marapu, penyakit kusta (Kila Katumbu) adalah hukuman secara langsung dari Sang Pencipta (Mawulu Tau) karena terlalu besar dosa yang bersangkutan.
X. Uma Unggulu Kawuku Tau Da Pa-hapanggangu
Rumah ini khusus untuk suku/kabihu yang ditunjuk untuk mengapani jenazah/mayat (yubuhu meti) dari golongan Marmba. Kewajibannya memandikan, mengapani mayat, dan rambutnya harus dikonde arah ke kiri, destarnya dilingkari ke jurusan kiri (tera atau kawuku palua kalaingu). Kain sarung untuk orang tua-tua harus dirobek kira-kira 30 cm ke dalam (inilah cara berpakaian di alam gaib atau di parai Marapu). Anak-anak yang gugur dan terlahir mati yubuhu hanya sepotong kain kurang lebih satu meter dan dialas dengan daun pisang jenis ruu kaluu pandaku, dan kalau mati sejak umur 5-12 tahun yubuhu hanya dua helai kain untuk pria, dua helai sarung untuk wanita dan kedua ujungnya harus dirobek agar jangan dirampas oleh arwah dewasa di alam gaib.
Kemudian setelah perang saudara tahun 1600-an (abad 17), karena ada orang-orang yang ditawan kemudian dijadikan budak (tau ata) sejak itu pula Uma Unggulu Kawuku Andu Pa-hapanggangu dirubah fungsinya menjadi tempat menghias budak-budak untuk paterangu (dipakaikan destar) atau pa-hapanggangu oleh orang-orang bangsawan.
XI. Uma Tobungu (Rumah Potong Binatang Kurban Kebaktian)
Suku yang memiliki Uma Tobungu adalah suku/marga/kabihu Tabundungu. Karena Musyawarah V di Tabundungu Bokulu Parai Pau duilakukan perlombaan memotong (tobungu) seekor kerbau jantan yang lehernya dibungkus ijuk enau (karambua pakoba). Seluruh kabihu yang hadir dalam Musyawarah Adat V berlomba untuk memenggal (tobungu) leher kerbau itu dengan parang, namun tidak mempan karena lehernya terbungkus dengan ijuk enau. Hanya kabihu Anakapu Umbu Ndilu Pararangu memiliki satu keris berbingkai timah putih (kirihu ulu tambura bara) dengan cara menusuk barulah kerbau itu mati. Maka oleh peserta Musyawarah Adat V memutuskan harus suku/kabihu Tabundungu sebagai tuan rumah dalam Musyawarah selaku peringatan turun-temurun (dibangun Uma Tobungu). Kemudian karena perkembangan ekonomi merosot, maka pengaruh kuasa juga menyusut maka beberapa suku/kabihu bangsawan kabihu mulai membentuk Paraingu dengan nama-nama ciptaan baru contohnya suku Anamburungu di Parai Yawangu. Berdiri rumah-rumah di luar ketentuan adat: Uma Penji, Uma Hapuruna, Uma Andungu, Uma Ndewa, Uma Jangga, Uma Wara, Uma Kopi, Uma Uhu, dan Uma Kudu. Jadi rumah adat asli di Parai Yawangu yang berdasarkan bentuk keputusan Musyawarah Adat I di Haharu Malai Kadanggu Lindi Watu ialah Uma Andungu dan Uma Ndewa.
Sumber: Cukilan dari buku Bapak D.H. Wohangara dan Pdt. Mb. Ratoebanjoe. SEJARAH PULAU SUMBA, ADAT-KEBUDAYAAN DAN PENDUDUKNYA PATU LATA TURA PARAINGU (CATUR SILA MARGA SUMBA - CATUR SILA PENOPANG NEGERI DI SUMBA). Unpublish.
Sumber : anahumba
mantap
BalasHapusrudi samapati
maksih om...
BalasHapusHalo, ada facebook yang bisa dihubungi? saya lagi nulis dengan setting sumba buat lomba. Dan saya mau nanya-nanya tentang sumba. makasih..
BalasHapusHalo, ada facebook yang bisa dihubungi? saya lagi nulis fiksi dengan setting sumba untuk lomba. mau nanya2 tentang sumba. makasih
BalasHapus