Taman baca Namu Angu adalah sebuah proses dimana saya terlibat di
dalamnya, bagi saya adalah sebuah ruang kecil disudut kota waingapu,
bisa lebih dekat dengan buku, sesuatu yang sulit saya jumpai di
Waingapu, selain itu sebagai media melihat tawa tawa anak kecil,
pertengkaran pertengkaran kecil kala rebutan buku atau pensil warna,
atau sekedar melihat mereka (anak-anak) berusaha mencari perhatian
dengan mengutak ngatik beberapa buku biar terkesan pintar.
Awalnya ide Taman Baca ini di mulai oleh Vani Kadiwanu, yang di
kenalkan ke saya oleh justin eto di twitter, setelah kita ketemu
akhirnya bertambah beberapa kawan lagi yang bergabung, ada Yon Hani,
abner liwar, YDT, engel, Ina renda,betrix,melati, eni renggo, nitha
dalli, ela, ignas. Dan beberapa lagi. Dengan bermodal buku buku bekas
yang kami miliki akhirnya terkumpul juga, masih sedikit tapi sudah cukup
menjadi modal bagi kami merealisasikan ide taman baca. Namanya pun di
gagas oleh ignas, dengan nama Namu Angu (peduli teman), setelah beberapa
nama sempat di pertimbangkan. Akhirnya beberapa hari sebelum tahun
2013, Tb. Namu Angu berdiri tepatnya di rumahnya vani (depan pastori
GKS-Umamapu).
Ternyata mengelola taman baca
tidak sesederhana yang saya kira, waktu selalu jadi kendala khusus
banyak teman teman yang sulit menyesuaikan ini, termasuk saya. Ada juga
beberapa teman yang pindak keluar dari waingapu, atau Sumba, sehingga
tahun pertama menjadi masa pertaruhan bagi taman baca ini, dimana sempat
terjadi kevakuman taman baca, sungguh menjadi sebuah kegalauan saya
secara pribadi dan saya juga yakin teman teman yang masih di waingapu
juga merasakan hal yang sama.
Namun
sekembalinya vani dari Jakarta, seperti membuka kesempatan baru
menghidupkan kembalinya taman baca ini, dan taman baca kembali akhirnya
berproses semakin baik, perlahan tapi pasti dari hari ke hari
pengunjungnya semakin ramai, terutama anak anak, mereka juga dikasi
kesempatan untuk mewarnai, salah satu aktivitas favorit mereka, jujur
saja aktivitas harian anak anak ini, bisa sedikit membuat “bahagia”,
mereka begitu polos untuk tertawa dan bercerita, saya kadang tertawa pas
tadi sore ketika di panggil “pak guru”. Saya jadi ingat masa kecil saya
begitu susahnya mendapat buku bacaan yang menarik, kalau jaman saya
dulu hanya berlangganan bobo saja sudah sangat membanggakan, jadi disaat
melihat kegembiraan mereka sayapun berbangga pada diri sendiri dan
teman teman yang sudah bersama sama membangun Taman baca ini.
Ketika taman baca masih sepi pembaca dan pengunjung, buku buku yang
terlihat di rak terkesan banyak, namun ketika pengunjung semakin ramai,
ternyata buku yang hampir seribuan ini terasa sedikit, sehari saja kalau
di pinjam bisa mencapai 20an buku, dan untuk mengatasi potensi baik ini
maka saya berharap kawan kawan yang baca tulisan bisa kasi sumbangan
buku, (pake paksa). Terutama bacaan fiksi dan buku anak anak yang
menjadi pilihan favorit di taman baca. Kami pun punya harapan bisa
membuka cabang taman baca Namu angu di sudut lain kota Waingapu.
Akhir kata, supaya jangan kepanjangan tulisan/curhat ini. Ada paradigma
yang mulai berubah ketika saya melihat antusias anak anak ini, sumba
yang saya lihat dulunya begitu minim dalam minat baca dan kini di tangan
anak anak ini , saya percaya kecintaan terhadap buku dan ilmu
pengetahuan telah menjadi hal yang lumrah dan semoga anaknya saya kelak
mengikuti jejak seniornya di taman baca ini. (indahnya berbagi dalam
kekurangan).
“Alasan saya membaca sangat
sederhana, karena saya tak punya cukup uang untuk berkeliling dunia,
dan saya tidak punya banyak waktu untuk mengenal semua orang”
(Umbu Nababan).
wah keren bisa bangun taman bacaan disana, nnti sy juga mau punya taman bacaan sendiri ah,:D terimakasih postingannya kk umbu..
BalasHapusini juga berkat dukungan kawan2 heheheh
Hapus