Pagi ini Rambu keluar dari
kamarnya, wajahnya muram, lebih dari dua minggu setiap pagi menyeruput kopi
yang rasanya kecut dan seringkali tercekat di tenggorokan. Tumpukan kain
tenunnya parkir dengan lunglai disudut ruang tamu rumahnya, tidak seperti
waktu-waktu sebelumnya.
Lapak di Pasar Inpres akhirnya
harus terpaksa ditutup, beberapa pengepul kain tidak tertarik mengambil kain
hasil tenunnya, permintaan lagi lesu. Perputaran penjualan kain tenun
benar-benar tumbang. Sudah dua minggu lebih tidak ada satupun kain tenun berhasil
dijualnya, kain tenun yang terakhir dijualpun dengan harga yang sangat miring,
harga kain yang biasanya 800 ribu rupiah terpaksa dijual seharga 400 ribu
rupiah. Hal itu terpaksa dilakukan Rambu untuk menutupi ongkos produksi kain
tenun walau akhirnya tak mampu menutup ongkos asap dapur rumahnya.
Semua karena corona!
Semenjak Corona menyerang
Indonesia, perlahan tapi pasti industri tenun ikat Sumba terkena dampaknya,
pembatasan gerak warga mengakibatkan berkurang kunjungan wisatawan ke Sumba.
Kain Tenun Ikat yang biasa dijadikan sebagai oleh-oleh para wisatawan akhirnya
sepi permintaan.
Rambu yang kini berusia 20 tahun
tak pernah menyangka hadirnya penyakit yang bernama corona akan menyerang usaha
yang mulai dirintisnya semenjak SMA (Sekolah Menegah Atas). Awalnya ia berpikir
corona hanya akan menyerang kota-kota besar namun semenjak keputusan pemerintah menutup semua akses perhubungan
termasuk udara, ia akhirnya menyadari penyakit baru yang berasal dari Wuhan
tidak hanya menyerang saluran pernapasan manusia tetapi berhasil meruntuhkan
usaha ekonomi warga termasuk dirinya yang merupakan penenun di pinggiran kota
Waingapu.
Serupa dengan Rambu, Tinus
salahsatu travel yang semenjak awal bangga dengan pekerjaannya sebagai seorang
supir travel dan mampu membeli sebuah mobil dengan cara kredit menyesal
keputusannya. Wisatawan taka da artinya pemasukanny sepi, sudah dua bulan Tinus
kebingungan bagaimana melunasi angsuran kreditnya, sebulan biasanya
pemasukannya bisa mencapai 10 juta tiba-tiba benar ambyar.
Tinus telah berupaya dengan
menurunkan harga travelnya, namun tetap saja sepi penumpang dan untuk
mengurangi biaya pengeluaran terpaksa Tinus harus memakirkan mobilnya sambil
mengumpat penyakit yang kini sudah menjadikan Sumba Timur sebagai zona merah di
NTT.
Work From Home
Bagi Tinus ia benar-benar tak
berdaya mengikuti anjuran pemerintah untuk Work from Home, karena memang
profesinya menuntutnya harus beradu rejeki di jalanan, Ia bukanlah pegawai yang
kini dilengakapi semua fasilitas teknologi dan mampu mengerjakan semuanya dari rumah
tanpa berpikir gajinya terpotong, malahan waktu untuk keluarga semakin banyak
bagi mereka yang berbaju keki. Berbeda dengan keluarganya yang mulai
mengeluhkan pengeluaran tanpa ada pemasukan harian seperti biasanya.
Beberapa hari ini Tinus akhirnya
memikirkan untuk menjual mobilnya dan pemilik baru bisa melanjutkan kredit
mobilnya, bisa jadi itu solusi tercepat yang dipikirkan Tinus karena untuk
berharap wisatawan seperti sediakala dalam waktu cepat sungguh hal yang tidak
mungkin terjadi.
Tinus tidak sendiri beberapa
teman sopirnya pun mengalami hal yang sama, hotel mulai kosong tak ada tamu,
beberapa pegawainya telah dirumahkan. Karena mereka juga tak mampu melakukan
work from home hanya bisa stay at home!
Memang benar Jokowi telah
menganjurkan untuk hidup berdamai denga corona, tetapi berdamai seperti apa? Apakah
menganggapnya sebagai penyakit biasa sedangakan vaksin dan obatnya saja belum
ditemukan. Keadaaan buruk ini bisa saja semakin parah untuk beberapa bulan ke
depan, angka-angka pengangguran akan melonjak dengan drastis, kemampuan daya
beli akan menukik jauh dan para pengusaha-pengusaha kecil akan tumbang dengan
sendirinya. Apa kita hanya bisa berdoa? Dan melihat saudara-saudara kita hanya
hidup dari 600 ribu rupiah untuk satu keluarga? Semua karena Corona!
Waingapu, Mei 2020
*Sumber foto : Google
Komentar
Posting Komentar